"Ada kesedihan yang tidak akan terhapus begitu saja,
Meski kebahagiaan menghampiri, dan memeluknya erat. Ada."
"Fel, duduk sini bentar ya." Gani mengusap rambut Fely, hal yang hari ini menjadi kesukaannya. "Oh ya, kamu mau minum apa?"
"Nggak usah repot-repot, Kak." Fely tersenyum tipis.
"Repot-repot apaan sih? Kamu adikku. Terserah berarti ini, tunggu ya." Gani meninggalkan Fely ke dalam rumahnya. "Pa, Ma, Fely udah datang!" teriaknya.
Mendengar itu, tubuh Fely semakin menegang, perasaannya semakin berat. Dia tidak percaya bahwa sekarang dia berada di rumah Gani. Menanti jawaban akan hasil tes DNA.
Fely meremas jemarinya. Bisa ia rasakan kedua tangannya dingin, seperti dia tengah dikelilingin oleh AC. Kakinya bahkan terus bergerak, gelisah. Tatapannya bergetar, bibirnya mendadak kering, seolah kelembapan yang ada terserap oleh udara.
Sekarang di otaknya sudah dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika, nanti hasil DNA itu tidak sesuai dengan harapannya? Bagaimana jika, ada yang marah dengan hasil itu? Dia tidak mau mendapati kemarahan lagi, dia tidak mau menambah seseorang yang membencinya, dia tidak mau membuat kehidupan seseorang hancur karenanya.
Dia senang bertemu dengan Ayah dan kakaknya –jika memang benar- tapi itu tidak bearti kalau ada kesedihan yang mengiringi.
"Aca."
Suara kecil itu menarik perhatiannya. Di depannya ada seorang anak laki-laki, memandangnya dengan sorot mata kebingungan. Netranya terus tertutup begitu menggemaskan.
"Aca, caca?" anak kecil itu kembali berucap. Tangan kecilnya memasukan cokelat yang membuat sekitar mulutnya
Fely mencoba menerka-nerka apa yang dikatakan. Ia mendekat, bersimpuh di dihadapan anak kecil itu. "Kakak namanya Fely, adik siapa?"
"Ecel."
"Ecel. Namamu Ecel?"
Anak laki-laki itu mengangguk, pipinya mengembung, begitu menggemaskan.
Fely melihat ke arah sekitar, dan mengambil beberapa helai tisu. Ia memegang pipi anak kecil itu. "Pipinya kotor, dibersihin dulu ya." Menurut, anak laki-laki itu memejamkan matanya, membiarkan wajahnya dibersihkan oleh Fely.
Menggemaskan, ingin sekali dia mencubitnya.
"Axel," suara wanita membuyarkan keinginan Fely, membuat ketakutan kembali menyerangnya. Fely menggenggam erat tisu yang ada di tangannya.
"Fely? Kamu Fely?"
Tubuh Fely menegang, ia memberanikan diri untuk mendongak. Seorang wanita dengan rambut sebahu adalah hal yang pertama ia lihat. Begitu cantik, meski ada beberapa kerutan di wajahnya, tapi tidak mengurangi kecantikannya.
"Kamu Fely, 'kan?"
Fely menunduk sembari mengangguk. "Iya, tante."
"Kenapa duduk di bawah? Duduk di atas sayang." Wanita itu mendekat.
Derapan langkah kaki itu membuat Fely semakin meremas tisu yang ada digenggamannya. Perlahan ia bangkit, masih dengan menundukan kepalanya, takut untuk menatap. Rasanya sofa yang dia duduki sekarang tidak nyaman, hingga membuatnya ingin cepat pergi dari sana.
"Belum dikasih minum? Tante ambilin dulu ya."
"Enggak usah Tante." Fely menggeleng dan mendongak, lalu menunduk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...