"Jika kamu sudah tidak kuat untuk berdiri,
di sini ada aku yang siap menopangmu."
Entah sudah berapa kali cowok dengan luka diwajahnya menghela napas. Bibirnya sudah gatal ingin menelontarkan perkataan sadis untuk orang yang masih saja menangis di depannya. Jaket yang menutupi wajah orang itu masih tergenggam erat, membuatnya sedikit khawatir.
Selain bibir, tangannya masih gatal ingin menghajar orang yang beberapa saat lalu menjadi lawannya berolahraga. Bahkan kalau diperhatikan ada bekas darah dibuku tangannya. Mengering bersama dengan luka. Sorot mata cowok itu berubah, rahangnya kian mengeras, sorot matanya kembali tajam. Menghilang jejak kekonyolan yang biasanya terlihat.
Rivan menghela napas. Ia menarik jaket yang ada di wajah gadis itu. Sejenak ia terpaku melihat wajah Fely yang tampak mengenaskan. Matanya perlahan turun, memperhatikan satu per satu bagian wajah Fely. Hampir keseluruhan wajahnya menunjukan warna yang sama merah. Terlebih dengan kedua matanya. Gadis itu tampak terluka.
Ia mengacak rambutnya sendiri. Hal yang paling tidak dia sukai adalah berhdapan dengan gadis yang menangis. Terlebih gadis itu.....ah sudahlah. Rivan membuka dengan benar jaketnya, lalu memasangkannya di tubuh Fely.
Rivan kembali menutup Fely dengan jaket miliknya, dengan posisi yang berbeda. Kali ini kepala gadis itu yang ditutupi. Tanpa rasa canggung, dia menggandeng tangan Fely dan membawa gadis itu keluar dari sekolah ini. Dia tidak tau harus melakukan apa.
Mereka berdua terus berjalan beriringan melewati koridor. Tadi saat Kanaya melabrak Ileana dan kawan-kawannya, Rivan langsung membawa Fely masuk ke dalam kelas kosong, menyembunyikannya dan membiarkan gadis itu menangis. Selama itu, Rivan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Cowok itu seakan mendengarkan setiap isakan tangisannya, mendengar setiap lara yang keluar dari bibirnya. Membiarkan Fely untuk menghabiskan waktu sendiri.
Dalam tangisan yang masih mengiringi, diam-diam Fely memandang tangan yang menggenggam tangannya. Ingin sekali dia menarik tangannya. Sayangnya tenaganya sudah terkuras habis. Seolah tubuhnya sudah tidak kuat untuk menopang lara yang tercipta dari semua yang dia alami. Dengan satu tangannya ia membekap mulutnya, menahan isak tangisan yang keluar. Dia tidak tahu bagaimana raut wajah Rivan sekarang. Satu hal yang dia tahu dan masih ingat, cowok itu tidak suka dengan dia yang berisik.
"Jangan jadi orang munafik, kalau lo mau nangis silakan gue nggak pernah larang."
****
"Muka lo kenapa dah Van?" Kevan meletakan P3K di atas meja. Dia berdecak ketika melihat luka yang sudah bersarang di wajah sahabatnya itu. Terlihat baru, karena belum kering sepenuhnya. Dia mengalihkan pandangannya pada Fely yang masih menunduk, meremas jemarinya dan menangis. "Lo hamilin Fely?"
"Mulut lo mau gue sobek ha!" sentak Rivan langsung.
"Kan cuman nanyak bos." Kevan terkekeh. "Tapi, serius gue penasaran. Lo berdua kenapa sih?"
Rivan memilih untuk membungkam mulutnya. Dia membuka kaca, dan terbelalak. Sialan si Aska, dia mukul nggak tanggung-tanggung. Tangannya dengan lihai mengobat wajahnya sendiri, sesekali meringis ketika rasa pedih mendera. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu, yang sukses membuat Rivan kalap kembali membuat emosinya tersulut.
Semuanya berawal dari Kanaya yang mengirimi Fely sms dengan menuliskan Aska. Gadis itu sudah muak dengan apa yang terjadi di kehidupan Fely. Semua hal sudah diceritakan olehnya, namun Fely masih saja menutup diri, seolah perkataannya hanya omong kosong belaka. Egonya terluka, dia merasa disamaratakan dengan orang yang dia benci. Rivan sendiri hanya diam mendengarkan memainkan tamaghocy yang dia lakukan saat itu.
Awalnya Rivan menolak, sayangnya ada sebagian dalam dirinya yang menarik dia melangkahkan kaki ke kelas Aska. Dia akhirnya mengalah, mengalah pada keinginan hati yang terus meronta. Perlahan dia mendekat, dan dia menemukan Fely di depan kelas Aska. Rivan memperhatikan, semua hal yang gadis itu lakukan ia perhatikan dengan kedua matanya. Sampai pada akhirnya dia mengikuti Fely yang kini sudah masuk.
Semua kalimat yang terlontar membuat Rivan mengepalkan kedua tangannya. Mengeraskan rahangnya, menekan emosinya. Dia pernah memberikan peringatan pada Aska, dan sepertinya cowok itu tidak menggubris peringatannya. Setelah Fely pergi, dia akhirnya masuk, menghajar Aska dengan membabi buta.
Saat itu, Rivan tidak tahu apa yang dirasakannnya kenapa bisa melakukan ini semua untuk Fely. Seolah hatinya telah buta, seolah dirinya mati rasa. Satu yang dia inginkan waktu itu, menghajar Aska dengan kedua tangannya sendiri.
"Elah Van! RIVAN!"
Rivan terlonjak dan refleks melemparkan botol obat yang ada di sampingnya. "Ngapain sih ngagetin gue mulu?!"
"Lo ngelamun ogeb!" Tristan menghardik. Dia menunjuk Fely yang masih senantiasa berdiam.
Rivan menoleh. Ia mendekat, menarik sedikit jaket yang menutupi wajah gadis itu. Matanya begitu lekat memperhatikan setiap inci wajah Fely. "Bego!" semburnya langsung dihadapan Fely sebelum duduk seperti semula. "Beliin gue mie ayam, bakso, susu cokelat 10 buah," kataya tanpa malu. Kakinya bahkan sudah dia tekuk, dengan punggung yang bersender di sofa milik Kevan. Matanya ia pejamkan.
Rivan tidak mempunyai tempat lain selain rumah Kevan. Orang tua Kevan welcome dan tidak telalu kepo dengan apa yang terjadi. Berbeda dengan Mamanya yang bisa dipastikan akan bertanya tentang keadaan Fely, dan itu merepotkan.
"Wah, lo nyuruh nggak tanggung-tanggung ya." Tristan berdecak. "Gue nggak mau, jelasin dulu, lo berdua kenapa? Perasaan lo baru kita tinggal bentar udah main bangku hantam aja. Sama siapa? Kapan? Kalian berbuat apa?"
"Lo mau gue bonyokin juga?" Rivan membuka matanya.
"Oke lo mau beli apa tadi? Susu? Mie ayam? Bakso? Gue beliin." Tristan langsung bangkit, ia menarik Kevan untuk mengikutinya.
"Apaan dah, lo pergi sendiri sana!" Kevan mencoba menarik tangannya tapi tidak berhasil, karena Tristan menariknya kuat.
"Ikut gue, Kevan."
Kevan berdecak, "Repotin amat sumpah." Akhirnya dia bangkit. Sebelum berjalan, dia menunjuk Rivan dan Fely bergantian. "Awas lo berdua ngapa-ngapain."
"Kalian berdua mau ke mana?" Kanaya yang baru datang menatap semuanya penuh keheranan.
"Belanjain si Abang Rivan." Kevan menjawabnya dengan santai.
"Ya udah gue titip."
"Lo juga ikut sana." Rivan menyela, ia sudah memejamkan matanya kembali. Kepalanya sudah ia senderkan d sofa. Pusing mulai menderanya. Lelah mulai menyapa.
"Gue nggak mau."
"Semua ini karena lo, lupa?" Rivan menoleh sekilas dengan mata yang sudah terbuka lagi. "Lo nggak lupa kan kalau gue lagi serius bisa ngelakuin apa?"
Kanaya menelan ludahnya. Ia melempar tas yang berisi pakaiannya asal. Lalu menarik tangan Tristan dan Kevan pergi.
Setelah yakin sepi. Rivan menghela napas, tangannya terangkat, menarik jaket miliknya hingga menampilkan sosok Fely. Tangannya ia selipkan di belakang leher Fely. Lalu menarik kepala gadis itu untuk menyender ke pundaknya. Dia melakukan itu tanpa berpikir terlebih dulu.
"Gue nggak suka sama orang kayak lo. Di depan tersenyum, di belakang nangis." Rivan memejamkan matanya, masih menahan kepala Fely di pundaknya. "Lo boleh kayak gitu di depan orang lain. Tapi, saat lo sama gue. Kalau lo mau nangis, lo nggak boleh menyembunyikannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
JugendliteraturBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...