Setiap orang mempunyai caranya tersendiri untuk peduli.
"Geseran sini coba Fel." Aska menggerakkan tangannya, memanggil Fely yang menjaga jarak antar mereka berdua. Gadis itu entah sengaja atau tidak, dia tidak mau mendekat ke arah Aska, dan itu membuat sesuatu dalam diri Aska terluka. Ego.
"Gue di sini aja dah, Ka. Lebih adem." Kembali menolak Aska, Fely tersenyum. Bukan tidak suka, tapi, dia hanya ingin menenangkan diri sejenak. Hampir seharian ini, debaran jantungnya tidak bisa ia cegah untuk berdebar kencang karena terus berdekatan dengan cowok itu. Dia menyadari dia mulai suka dengan Aska, hanya saja dia masih ragu dengan apa yang terjadi.
Tak mau mendengar alasan, Aska mengulurkan tangannya menyentuh lengan Fely untuk mendekatinya. Mereka memang duduk berdampingan, namun, Fely duduk paling ujung sofa, membuar mereka seperti orang yang tengah marahan.
"Kenapa? Mukanya kenapa?" Aska mengulum senyumnya, ia masih tidak melepaskan tangan Felly. Sengaja, ia memajukan wajahnya, ingin melihat wajah Fely. Dia sudah merencanakannya dengan baik apa saja yang akan dia lakukan untuk membuat gadis itu jatuh cinta. Selama ini sudah berjalan lancar.
"Nggak apa-apa."
Aska semakin puas dengan apa yang ia dengar. Suara Fely rendah, gadis itu malu, dan Aska paham. Tangan satunya ia ulur, mengambil rambut yang kini menutupi sisi wajah Fely.
"Pipi lo kenapa? Luka karena apa?" tanya Aska langsung melunturkan kalimat godaan yang hendak ia ucapkan. Ada luka yang terlihat di pipi gadis itu, dan dia tidak suka.
Panik, Fely menarik rambutnya yang ada di tangan Aska. Ia tidak tahu kalau tamparan tadi membuat pipinya terluka. Dia tidak menyadari itu, karena sibuk menenangkan diri. Ah seharusnya dia mengeceknya sebelum keluar rumah. Bukan karena malu, namun, ia enggan untuk ditanya.
"Diem dulu." Kini Aska mengubah posisinya menjadi menghadap Fely. Tangannya mencekal tangan Fely yang sibuk menutupi pipi, agar dirinya tidak bisa melihat. Matanya bergerak, menelisik luka yang kini terpampang nyata di wajah gadis itu.
Rambut yang kini ia pegang, diselipkan di belakang Fely. Membiarkan matanya dengan leluasa melihat luka yang berupa garis lurus. Ia memegang wajah Fely, melihat dengan jelas luka itu.
"Ini luka kenapa?"
"Tadi, nggak sengaja kena kuku," jawab Fely sembari menoleh. Menatap Aska dengan kesungguhan. Dia berharap Aska percaya, toh itu luka kecil. Mata Aska masih menatapnya dan itu membuat dirinya merasa gugup. "Gue boleh liat hasil fotonya nggak? Kalau boleh tapi..." tambahnya setelah berhasil mencari topik untuk membuat dia terbebas.
Fely tersentak, keningnya mengernyit dalam, ketika Aska tiba-tiba menarik diri. Ia memberanikan diri untuk menoleh, memperhatikan Aska yang sepertinya marah karena perkataannya. Fely merasa tidak enak, apakah perkataanya menyakiti Aska.
"Aska, maaf. Kalau gue nggak boleh lihat, nggak apa-apa."
Keheningan tercipta di antara mereka berdua. Sangat tidak selaras dengan di mana mereka saat ini. Sebuah kafe sederhana, tempat yang tak jauh dari tempat mereka berfoto tadi. Obrolan terdengar dari segala sisi tempat mereka duduk, obrolan yang tidak jelas karena saling bertabrakan satu sama lain. Berbeda dengan mereka yang mendadak menjadi pendiam.
Di tempatnya, Fely duduk dengan gelisah, ia takut Aska marah, takut perkataannya ada yang menyakiti cowok itu. Diam-diam ia memperhatikan Aska yang masih membisu sambil meremas jemarinya sendiri.
"Kenapa lo natap gue dengan tatapan kayak gitu?" Selalu Aska menoleh dan berkata tiba-tiba, membuat Fely tidak bisa mengontrol ekspresinya. Ia selalu kaget, dan lidahnya langsung kelu. Apalagi kalau ditatap seperti ini, dengan mata yang binar akan godaan, dengan senyum yang tersimpul pada wajahnya, dengan pose yang begitu baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...