02

13K 843 26
                                    

Setelah menghabiskan waktu dengan bercanda ria bersama Deany dan Rea, aku pun memutuskan untuk kembali kerumah mungilku mengingat hari sudah mulai sore. Dengan penuh semangat kumasukan sisa potongan terakhir donat coklat jombo itu, coklat yang nikmat itu langsung memenuhi mulutku ada rasa manis dan gurih bersamaan. Sungguh perpaduan rasa yang sangat menggoda selera.

"Kawan-kawan sepertinya aku harus pulang. Kalian tau, ibuku akan marah jika aku belum sampai rumah, sebelum dia pulang kerja" seruku sambil membereskan beberapa perlengkapanku.

"Ya... Kalau begitu aku juga harus pulang. Ibu dan nenekku sudah menungguku" Rea ikut berdiri sambil mengikat rambut panjang pirangnya yang terurai menjadi satu.

"Tentu... jika ada waktu main-main lagi kesini" jawab Deany lalu berjalan mendekati kakeknya.

"Re.. untuk apa Deany mendekati kakeknya?" tanyaku heran.

"Tidak tau. Biasanya anak satu itu selalu marah-marah jika kita pulang lebih awal dari sini" Rea menaikan kedua bahunya pertanda dia tidak tau.

Deany akhirnya kembali berjalan menghampiri aku dan Rea yang sedari tadi memang menunggu dirinya. Namun, sosok pria tua yang menjadi kakek Deany ikut berjalan menyusul cucu kesayangannya itu. Senyuman manis dilontarkan pria berumur itu dengan membawa dua bingkisan berbentuk kotak.

"Ini oleh-oleh dari neneknya Deany" serunya sambil menyodorkan bingkisan tadi.

"Aduh... Kakek ini pasti merepotkan, tidak usah repot-repot begini" seruku merasa tidak enak.

"Iya, kek. Tidak usah repot, kita selalu merepotkan kakek jika datang berkunjung kesini" kali Rea ikut menimpali ucapanku.

"Ambillah. Ini sama sekali tidak merepotkan, kalian juga tidak merepotkan kakek ataupun nenek Deany. Malah kakek senang cucu kakek ini memiliki teman, selama ini kakek suka khawatir Deany terlalu sering bermain games" ujarnya.

"Kakek..." rengek Deany. Hingga membuat kita tertawa melihat tingkah meraju dari Deany. Setelah itu aku dan Rea berpamitan dengan nenek dan kakek Deany. Kita berdua berjalan beriringan menuju halte bus, mengingat rumah Rea memang harus menaiki bus jika tidak ingin pulang terlalu sore.

"Kau yakin akan berjalan?" Rea bertanya dengan nada pelan.

"Iya... jadi kau pulang saja naik bus. Aku harus berjalan sekaligus berolahraga agar aku bisa sedikit lebih tinggi" jawabku sambil tersenyum.

"Tapi apa kau tidak akan telat" seru Rea yang berusaha memujukku menaiki  bus.

"Tidak. Sekarang kau harus pergi, bus itu akan sampai" jawabku mantap sambil menunjuk bus yang sedang menghampiri kita.

"Kau yakin" serunya sekali lagi dan saat itu bus tersebut sudah berhenti tepat di dekat kita.

"Ya Rea, sayang. Cepat naik nanti kau tidak dapat tempat duduk" kali ini aku sedikit mendorong tubuhnya agar masuk kedalam bus itu.

Kulambaikan tanganku dan dibalas lambaian dari Rea. Bus yang membawa sahabatku itu sudah menjauh, aku pun kembali berjalan menyusuri jalan yang lumayan sepi. Mengingat para karyawan kantor belum ada yang pulang, sepasang sepatu coklat tuaku bergerak bebas sama sekali tidak ada desak-desakan. Sungguh enaknya jika berjalan di waktu seperti ini, seakan-akan jalanan milik sendiri.

Aroma hotdog yang menggugah selera mampu membuat perutku menginginkan makanan cepat saji itu.   Aku  berjalan menuju tempat penjual hotdog itu berada, semakin dekat aroma itu semakin kuat. Dan satu senyuman tercetak di wajahku, saat melihat belum ada satu pun pembeli disana. Cepat-cepat aku kesana dan memesan hotdog beserta minuman.

"Ada yang bisa saya bantu nona" seru seorang wanita berpakaian seragam kerjanya. Wanita yang berusia 40-an itu  memiliki kulit berwarna hitam sama seperti warna rambutnya yang ikal.

"Aku ingin hotdog pedas acarnya 1 dan air mineralnya 1" pesanku kepada wanita itu.

"Tentu" dengan lihai ia membuat pesananku, tidak butuh lama hanya 5 menit hotdog penasanku telah tiba.

Aku memakannya dengan nikmat "Ini sangat enak sekali" pujiku dan kulihat wanita itu tersenyum.

"Apa nona masih kuliah?" tanyanya bersahabat.

"Tidak. Saya sedang mencari pekerjaan" seruku lalu menenguk air mineralku.

"Keponakan perempuanku baru-baru ini berhenti bekerja di salah satu perusahaan yang cukup terkenal. Mungkin saja perusahaan itu membutuhkan karyawan penganti" ucapnya.

"Mengapa berhenti. Maksudku, perusahaan itu bagus dan terkenal seperti anda bilang tadi?" tanyaku penasaran.

"Keponakanku sudah memasuki kehamilannya yang 7 bulan. Untuk itu suaminya menyuruhnya berhenti 2 hari yang lalu. Jika kau ada waktu, kau bisa datang keperusahaan itu besok jam 8 pagi. Semoga saja kau beruntung nona" jawab wanita itu dan kembali membikinkan pesanan untuk para pembelinya.

Aku mengunyah hotdog di tanganku sambil berpikir tentang tawaran wanita itu. Ada kesempatan untukku jika besok aku pergi keperusahaan  yang disarankannya itu, tetapi aku belum tau apa pekerja keponakan dari wanita itu.

"Maaf jika saya boleh tanya. Pekerjaan apa yang dibutuhkan di perusahaan itu" tanyaku minat.

"Keponakanku adalah office girl di perusahaan itu. Seperti seorang pelayan. Gajinya lumayan, untuk usia sepertimu mereka pasti langsung menerima. Mengingat kau masih muda" ucap wanita itu yang masih asik memasukan beberapa asesoris pelengkap di roti hotdog.

"Apa aku bisa meminta alamat perusahaan itu" seru sekali lagi.

"Tentu" wanita itu mengambil sesuatu di dalam kantong celana kainnya "Ambillah... besok jangan lupa kesana dan membawa beberapa berkas keperluanmu".

"Terimah kasih. Dan ini uang untuk hotdog lezatnya" aku menaruh satu lembar uang kertas dan tiga koin.

Tanpa melihat terlebih dulu kartu nama pemberian wanita itu, aku langsung berjalan kembali menuju rumahku. Jam tangan yang bertengger di lengan kiriku menunjukkan pukul 16.40, sekitar 1 jam lagi ibuku akan pulang. Terpaksa aku harus berlari cepat, bingkisan pemberian dari kakek Deany ikut bergoyang-goyang akibat aku berlari.

Tepat pukul 17.00, aku tiba di rumah. Dengan gerakan cepat aku membuka pintu lalu masuk. Meletakkan tas jinjingku di atas sofa ukuran sedang, berjalan kedapur sambil menaruh bingkisan. Aku bisa menebak apa isi bingkisan itu, tidak lain dan tidak bukan adalah sayuran dan buah segar. Mengingat nenek Deany tinggal di Autria, aku meletakkan panci ukuran sedang diatas kompor dan menaruh air di dalamnya. Aku membuat sup sayuran kesukaan ibuku.

Kulirik jam dinding bulat rumahku, masih menunjukkan pukul 17.15, masih ada waktu membersihkan tubuhku yang lengket oleh keringat. Ibu juga belum pulang dari tempat ia bekerja, jadi aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Para pembaca yang baik, jangan lupa komen dan like. Follow juga ya akun gue, gemis like dan follow nih....

Sewing Heart ArroganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang