sixteen.

4.8K 688 74
                                    

Begitu sampai di apartemen, Jungkook menemukan dirinya murung di meja tamu. Bukannya Jungkook tak pernah melakukan hal yang sama, biasanya ia memang orang yang pemalas, selalu murung atau melamun. Tapi sekarang berbeda, rasanya lebih menyebalkan karna tak dapat menemukan apapun untuk dikerjakan.

Jungkook punya kawan yang tak terhitung jumlahnya. Semua karna harta dan tampangnya yang rupawan. Tapi memutuskan untuk berurusan dengan mereka di siang yang terik bukan perkara bagus. Jungkook tak mau terlibat dalam permainan konyol anak seusianya.

Kim Taehyung, satu-satunya sahabat, belakangan tak dapat diganggu. Walau ia sejenis preman disekolah, ia punya prestasi hebat dibidang kimia. Jungkook hanya tak mau mengacaukan mimpi teman terakrabnya itu.

Jungkook mengambil ponsel. Memutuskan untuk tak melakukan apapun selain bermain game diponsel pintarnya.

¤☆¤

Aku terbayang kilas balik beberapa jam lalu. Dimana Jungkook dengan kurang ajar membuatku nemplok ditubuhnya macam panda.

Aku belum puas hanya menonjoknya di dada. Kepalan tanganku kecil dan lemah. Aku yakin itu tidak cukup menyakitinya. Aku kepikiran berbagai cara untuk membalasnya lebih jahat. Namun berfantasi untuk tak berurusan lagi dengannya lebih menarik minatku.

"Jimin-ah, pergi belikan Ibu beberapa barang, ini."

Ibu menghampiriku dengan kertas selembaran ditangannya. Disana tertera beberapa list yang perlu kubeli, bahkan tertera berat barang dan harga diskon yang mungkin bisa didapat.

"Aku baru ingat punya tugas Bu, aku mau kerjain itu sekarang."

"Tidak bisa." Ibu menghalangi jalanku begitu aku berdiri untuk menghindar dari perintah. Meski aku tahu itu dosa, hanya saja aku terlalu malas untuk pergi keluar gerbang rumah.

"Kau belikan ini dulu, sehabis itu kau bisa lakukan apapun yang kau mau." Ibu bersikeras.

"Bu," kataku merajuk. Itu tak berpengaruh pada Ibu--atau pada siapapun. Ibu menatapku datar, justru menekuk lengan didepan dada. Menatapku jengah.

Aku cemberut. Mau tak mau mengambil kertas lembaran dari tangan Ibu.

Mengambil jaket, memakainya dengan kasar, masih memanyunkan bibirku, melengkapi penampilanku dengan sendal jepit, "aku pergi."

Begitu mencapai supermarket, semua berjalan cukup mudah. Aku tak direpotkan dengan keberadaan barang. Aku sudah lebih dari hafal urusan belanja disupermarket. Akhirnya setelah berlama-lama memilih, mereka menyusunnya rapi dikertas belanja.

Aku mendapatkan beberapa diskon seperti yang ibu tulis. Tersenyum manis ketika mereka memberi barang belanja.

Aku mengemut es krim anggur, rasanya sangat menyegarkan di cuaca panas seperti hari ini. Kakiku berhenti melangkah. Mengangkat tanganku tinggi, menghalau sinar matahari yang masuk melalui sela-sela jari. Hari ini sangat cerah. Aku menunduk lesu. Entah apa yang mengganjal hingga aku terlalu malas untuk melakukan apapun. Aku bahkan terlalu malas untuk menggerakkan jariku. Aku terlalu malas untuk berkedip. Terlalu malas untuk menatap apapun. Yang paling menyebalkan dari semua itu adalah tentang kedua mataku yang tak tersentuh kantuk.

Itu sangat, sangat menyebalkan.

Aku menghentakkan kaki kesal. Menurunkan telapakku, kembali berjalan sambil memperhatikan sendal jepit yang dipenuhi kotoran. Aku harus mencucinya setelah ini, paling tidak aku harus mengangkat semua sel-sel malas yang menempel seperti kuman di kulitku. Aku harus push up, lari-lari kecil begitu sampai di gang. Berkeringat dan rasanya mau mandi lalu tiba-tiba diserang kantuk. Itu ide bag-aw!

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang