thirty-one.

2.7K 389 33
                                    

terhitung cepet yak update ku wikwik

anggaplah permohonan maaf setelah berbulan-bulan lalu ga update hehe

enjoyyy!!!

.
.
.
.
.

Biasanya Jungkook tak pernah suka menunggu. Kali ini ia terpaksa melakukannya. Semua untuk dirinya sendiri dengan melepas bosan. Tapi kalau seperti ini caranya, Jungkook justru makin bosan melebihi diam di villa tak melakukan apapun kecuali dengan ponselnya.

Jungkook masih jalan dibelakang, kedua orang didepannya main-main dengan pasir pantai dan tergelak terus-terusan. Jungkook gerah dengan tingkah kekanakan mereka. Tapi Jimin yang tersenyum lebar dan melempari pasir ke arah Jongin membuat Jungkook agak suka. Dia suka ketika Jongin itu dilempar pasir dan mengenai mukanya pas. Tapi bagian yang membosankan adalah ketika Jimin merasa bersalah dan berlari memeluk Jongin yang mengucek mata sok manja. Mati saja si Jongin ini!

Walau benaknya berteriak begitu, Jungkook masih cool dengan mengantongi jemari di saku celana dan earphone ditelinga sambil sesekali menikmati udara sore kota Busan di pinggiran pantai.

Dia muak dan berpikir untuk pulang. Namun membayangkan Jimin hanya berdua bersama si kulit hitam itu menganggu pikirannya.

Sekarang pukul 3 sore, Jimin sudah menghubungi sang ibu untuk jalan-jalan sore dengan Jongin. Jungkook mengernyit ketika ia tidak di singgung. Jimin mau melakukan affair? Do it then. Jungkook tak pernah keberatan, justru tertarik untuk memulai permainan yang sesungguhnya.

Jungkook diam bersandar di pohon kelapa terdekat, matahari Busan begitu menyengat karna ada Jongin disana. Dia mengantungi lengan di celana dan hanya memperhatikan Jimin dari kejauhan.

Dia suka ketika Jimin tertawa lebar. Matanya hilang tertelan pipinya yang tertarik keatas. Hidungnya mengernyit dengan cara yang lucu. Dan ketika Jimin membanting tubuhnya dalam tertawa keras, Jungkook bisa bertahan sampai kapanpun untuk mendengar tawanya yang gurih di telinga. Seperti Jungkook tiba-tiba punya kekuatan super mendengar hal sekecil apapun dan tawa Jimin menggema dalam kepalanya. Memantul-mantul dalam bunyi yang indah. Dan Jungkook tak bisa menghilangkan bayangan itu selamanya.

Jimin terlalu berharga untuk dilewatkan. Tidak seperti kebanyakan sesuatu yang mengaguminya. Jimin berbeda. Ada hal-hal yang Jungkook tidak mengerti tentang dia. Semua masa kelam, semua melamun yang pernah ia lakukan, memantul-mantul dari matanya yang bercahaya dan berkilau. Seperti dia bisa melihat apa saja dari matanya tapi sebenarnya tidak. Jimin mungkin baik, terbuka pada semua orang yang balik berniat baik, bisa membuka diri selebar-lebarnya dan bersedia jadi tempat bersandar. Tapi Jimin tak pernah membiarkan oranglain menelan lukanya. Tidak pernah membiarkan oranglain melihat rasa sakitnya. Meski hal-hal kecil yang tak perlu.

Jujur, satu bulan lalu, saat fonis ayah Jimin dilakukan atau sebelum itu, ketika Jimin menunjukkan sepenuhnya sisinya yang lemah, Jungkook bangga ada disana. Memeluknya seperti Jungkook bisa membuatnya bersandar di dadanya selamanya.

Tak ada yang lebih membahagiakan selain membuat Jimin yang begitu ceria dan terbuka, membuka dirinya sepenuhnya, padanya. Jungkook sombong menganggap ia, super hero yang menyelamatkan dunia, dan Jimin. Dunia Jimin. Bolehkah dia?

"Jungkook-ah!"

Jungkook menatap lurus pada Jimin yang melambaikan tangannya. Jungkook masa bodoh. Dia memasang earphonenya kembali. Selama ada si hitam Jongin disana, jangan harap Jungkook mau mendekat.

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang