twenty five.

3.2K 475 40
                                    

Ajakan Namjoon menghentikan pergerakannya. Segala sesuatu yang telah ia rancang seperti jatuh ke dasar jurang. Jungkook tak dapat melihat kedalam karna terlalu gelap.

Tentu. Tentu saja Jungkook akan lakukan apapun untuk membuat Jimin merasa lebih baik. Tapi ia tak pernah menyangka kakaknya akan memberi tawaran sebegitu berat. Apa ini sebanding? Tentu Jungkook akan bilang tidak jika menyangkut hal lain. Tapi ini Jimin. Untuk alasan yang ia tak ketahui, Jungkook ingin Jimin dapat kembali bersamanya lebih cepat. Apa yang salah darinya?

Jungkook perlu waktu untuk menimbang. Pertengkaran batin dalam situasi genting justru memberikan keputusan yang ceroboh. Jadi ia melangkah mundur. Berpamitan dan pergi dari kantor polisi setelah mencak-mencak pada kakaknya untuk menawarkan hal tak masuk akal.

Keesokan harinya tidak jauh lebih baik.

"Hyung, kau takkan mengerti. Aku tak mau melibatkan Ayah dalam masalah ini. Tidakkah kau bisa membantuku dengan cara lain yang bisa kutebus lebih mudah?"

"Aku takkan mengerti apa Kook-ah?" ujar Namjoon. "Sepertinya aku lebih tahu. Kau gay, tapi delusional. Akui saja kau gay untuk Jimin."

"Kau tak masuk akal hyung."

"Well... kau tak lakukan itu untuk Taehyung atau teman dekatmu yang lain. Kau tak peduli seperti kau peduli pada Jimin. Ck, adikku satu ini, kasihan sekali nasibnya, dia bahkan tak tahu kalau sudah jatuh cinta."

"Namjoon-ah," SeokJin datang dengan dua gelas teh.

"Jatuh cinta, kau makin melantur hyung."

"Terserah kau saja. Sampai kapan kau akan lakukan ini untuk menyangkal perasaanmu. Aku tak peduli. Hanya sejauh ini aku bisa membantu. Semua keputusan ada padamu."

Benar hyung, kau tak membantu sama sekali. Sialan.

"Lakukan."

"Lakukan apa?" goda Namjoon.

"Lakukan hal sialan yang ingin kau lakukan padaku."

¤☆¤

Jimin duduk dibalkoni rumahnya yang mengarah pada sebuah taman dihalaman belakang. Kardus-kardus sudah tersusun rapi diruang tamu. Tinggal menunggu mobil pick up datang menjemput dan membawa semua pergi. Jimin hanya ditinggali kamarnya, peralatan makan ala kadar, sebuah mesin cuci dan peralatan kebersihan. Ibunya masih duduk diam diruang makan. Situasi memaparkan jelas apa yang terjadi.

Jimin kembali adu mulut dengan sang ibu.

Ibunya tetap memaksa untuk pergi namun Jimin bersikeras untuk tinggal. Tempatnya bukan di Busan. Dia tidak cocok disana. Semua masa lalu itu terlalu menyakitkan untuk dikenang. Jimin bahkan tak sengaja mengenang tapi suasana, atau langit Busan, hembusan anginnya, dan suara deburan ombak bersahutan seakan tak mau membiarkan Jimin sendirian dengan rasa bersalah. Dia membenci itu, hanya itu saja yang tak membiarkannya kembali dan membuatnya menapak semakin kuat di tanah orang.

"Jimin-ah..."

"Bu, hentikan." Jimin sesenggukan. "Aku tak mau membiarkan ibu pergi tapi aku juga tak bisa ikut. Tolong mengerti."

"Jimin-ah, tak ada yang baik disini nak, ayo kita kembali."

"Bu!" Jimin meninggikan suara. "Maafkan aku... aku tak bisa. Aku akan ikut untuk beberapa hari. Membantu ibu menyusun perabotan tapi aku tidak akan tinggal. Kumohon ibu mengerti." Jimin bangun. Melirik arloji yang melingkar di pergelangan. "Masih ada beberapa jam. Aku tak mau diam disini dan semakin kuat membantahmu ibu, aku akan pergi. Aku kembali pukul 9."

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang