twenty-three.

3.8K 558 20
                                    

Aku telah diperbolehkan pulang.

Aku menjalani hariku dengan normal.

Tapi yang membuatku merasa gelisah sepanjang waktu jutru ibuku. Yang tetap berada dirumah dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa. Namun jika ditilik lebih jauh, bahkan aku tidak merasakan sikap berbeda ibu 5 hari berturut-turut, ibu terlalu memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja.

Jauh didalam hatinya, dia pun memiliki kekhawatiran itu, kekhawatiran yang membuatku jengkel.

Aku sedih dan jengkel disatu waktu. Tapi aku tak bisa membiarkan ibu merasakan hal itu terlalu lama.

Ibu terlalu sering mengurung diri dikamar setelah melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan baik.

Dia membuat makanan untukku. Dia bercanda dimeja makan setiap malam dan pagi. Tapi justru disanalah letak kegelisahanku muncul. Ibu melakukannya hanya untuk membuatku merasa baik-baik saja. Alih-alih membuatku merasa terbebani dengan itu.

Ibu terlalu berusaha keras untuk terlihat senang.

Aku sangat ingin mengelus punggungnya, mengatakan kata-kata penenang. Tapi siapapun tahu kalau aku tak jujur mengenai perasaanku. Bahkan ibu takkan percaya jika aku mengatakan kata-kata penenang seperti; ayah akan pulang, itu pasti, dia akan pulang secepat mungkin dan menjadi kepala keluarga seperti dulu, sebelum dia menjadi brengsek--dia sangat tahu jika satu-satunya yang kuinginkan adalah menjauh sebisa mungkin dari lingkup kehidupan ayah. Karna itu ibu memilih diam dan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja dan dia bisa hidup tanpa ayah untuk menjaga perasaanku.

Namun aku lebih dari tahu bahwa dia tidak jujur dengan perasaannya sendiri.

Itu membuat hatiku sakit jika ibu terus melanjutkan sandiwaranya yang membuatnya makin tersakiti.

Jika saja ibu bisa ikhlas. Bahagia ku pasti sempurna.

Surat pengadilan muncul setelah satu minggu.

Aku menatap kertas itu nanar ditanganku.

Ibu pasti senang mendengar berita ini. Namun jauh dilubuk hatiku, aku masih berat untuk melepaskan surat ini. Aku hanya tak rela untuk kembali dengan bedebah itu.

Aku menelpon Jungkook. Dia setuju untuk berangkat bersama hari senin nanti.

Berpikir tentang Jungkook...

Dia terlihat semakin berbeda. Aku banyak berterimakasih padanya ketika aku telah keluar dari rumah sakit. Dia bilang, telinganya akan meledak jika aku terus mengucapkan satu kata yang menurutnya asing.

Aku tersenyum mengingat itu. Jungkook juga manusia, walau kebanyakan yang kurasakan ketika bersamanya hanya perasaan jengkel untuk mengobrak-abrik isi kepala dan wajahnya yang tampan.

Aku menunggu dipelataran rumah. Jungkook akan menjemputku pukul 8 tepat. Aku telah siap dengan kaus turtleneck coklat yang dibalut dengan coat hitam serta sepatu pantofel hitam.

Aku bergaya seakan tak terjadi apa-apa. Aku ingin membuktikan pada ayah bahwa kami baik-baik saja tanpa dia, juga nanti saat dia keluar dari sel tahanan. Kuharap ia menjadi pribadi yang lebih baik. Menyesal atas segala perilaku buruknya kepadaku dan ibu. Mencoba menjadi seorang ayah yang sebenarnya. Setidaknya itu yang aku pikirkan ketika memilih menggunakan coat serta bergaya santai untuk memanas-manasi ayahku.

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang