thirty-four.

5.1K 424 111
                                    

im not gonna say a word.

just enjoy.

thats that😂

.
.
.
.
.

Jimin tak pernah merasakan malamnya lebih dingin dari ini. Dia bisa menduga kamar Jungkook berada tepat di sebelah kamar yang dia tempati. Tapi hanya untuk mengetuk pintu saja rasanya sudah tak sanggup. Jimin tak bisa membayangkan bagaimana pandangan tajam menusuk itu lebih menyakitinya lagi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Hidupnya sekaligus Jungkook terasa seperti roller coaster. Berputar-putar, tapi belum sempat mencapai puncak dia sudah dijatuhkan lagi. Terus seperti itu. Seharusnya Jimin terbiasa. Tapi kini dia tahu bahwa bukan waktunya untuk bersikap tidak perduli lagi.

Jungkook itu sama misteriusnya dengan takdir. Mungkin bisa diubah, tapi kecil kemungkinan kita mengetahui bahwa takdir yang dilukis telah berubah. Dia berjalan di persimpangan jalan lain, entah menuju yang lebih baik, atau justru semakin buruk. Well yah, dia out of the blue, so much.

Sekarang apa? Ayo berpikir. Jimin yang bodoh, mari berpikir!

Uangnya habis kah? Jungkook sampai pindah ke rumah--yang masih sama besar--di pinggiran kota. Jadi jelas ini bukan masalah finansial.

Sebuah masalah muncul dari keluarganya? Dia kekurangan daging? Karbohidrat? Gula? Haduh, plis, Jungkook gaakan ngambek hanya gara-gara hal sepele macam itu, tapi apa?

Park Jimin melek semalaman, hanya ada Jungkook yang berputar-putar di penjuru otak dan pikiran. Raganya juga tidak bekerja maksimal. Tau-tau dari jendela, cahaya memancar menerangi ruangan.

Dia sudah sejauh ini, Jimin takkan mau diminta kembali menjalani rutinitasnya tanpa merasa pernah ada Jungkook dalam hidupnya. Mau bagaimanapun perlakuan pria itu. Jungkook masih sama berharganya. Dengan sepeneninggalannya yang seperti ini, Jimin justru semakin enggan.

Paling tidak, jika mereka tidak bisa menjalani hubungan, pertemanan saja sudah cukup.

Dengan tekad, Jimin bangun dari duduknya, tergurat lelah dari wajahnya yang membengkak akibat tak tidur semalaman, ia memantapkan diri untuk berjalan keluar dari ruangan. Untuk waktu yang lama, dia berdiri diam didepan pintu samping kamar yang semalam ia tempati. Jimin tak melakukan apapun, masih menimbang-nimbang. Sampai pintu menjeblak terbuka dan Jimin mundur dua langkah dengan mata menatap lurus. Satu tegukan ludah dia ambil saat melihat Jungkook berdiri menjulang di depannya. Rambutnya basah, kaus polo hitam dan celana pendek hitam begitu pas menempel ditubuhnya.

"Mau apa?" salam Jungkook.

Jimin tampak seperti orang bego. Menunduk dalam, tak tahu apa yang harus diucapkan.

"Menyingkirlah kalau tak ada yang mau dibicarakan."

Dengan bodoh Jimin menyingkir. Jungkook segera berlalu pergi. Jimin menatap punggungnya. Mendesah lelah dan hampir menangis.

Jungkooknya, kembali seperti yang lalu.

.
.
.
.
.

Hari ini hari pertama dia menjalani kehidupan baru. Udara Seoul, tanpa kedua orangtua, hidup mandiri, dan hanya ada Jungkook sebagai tempat bersandar.

Rasanya nano-nano.

Sebenarnya, jika boleh jujur. Jimin ingin bisa menggeplak kepala Jungkook. Mengatainya brengsek karna tak menjenguk sama sekali. Hanya saja, situasinya tidak memungkinkan itu terjadi.

Jimin berpikir mungkin ini hanya sebuah fase. Jungkook mungkin sedang menemui hal sulit dalam hidupnya. Ini akan berlalu setelah beberapa hari. Jadi Jimin harus bertekad untuk terus berada disisi laki-laki itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang