Pagi datang, sinar orange membias hingga kamar yang mereka tiduri. Bunyi burung camar disekitar membuat tidurnya lebih nyaman. Jimin kembali bergelung ketika merasakan sengatan dan kilauan cahayanya. Dia mau tidur lebih lama.
Jimin berencana bangun dari tidur, menutup gorden yang menghalangi acara malasnya hari ini sebelum ia bisa berpikir kalau kepalanya bergerak naik turun dengan irama sama. Jimin menatap alasnya tertidur. Menelan ludah, menatap keatas dan mendesah. Menggigit bibir dalam kekhawatiran, bergerak pelan ke samping tubuh lelaki itu dan menenggelamkan kepalanya ke bantal. Berteriak sekencang mungkin.
Jungkook menggeram, agak membuka mata dan pandangan mereka bertubrukan ketika Jimin menoleh untuk memastikan pria itu tak bangun. Tapi Jungkook justru menarik Jimin dekat lagi, memeluknya lebih erat. Jimin geleng kepala dalam hati. Dia harus menerima ini dengan percuma, atau menolak mentah-mentah untuk menyembunyikan kebohongan?
Jimin jelas bukan orang yang main seenaknya menikmati saat-saat bahagia kalau setelahnya dia tahu betul ini akan berubah menyakitkan. Dia selalu, setiap saat, was-was akan apa yang dia rasakan di kemudian hari dengan tindakannya hari ini.
Jimin memang selabil itu, semalam ia yakin betul, kalau ia dengan sukarela dipeluk dan malah memeluk balik. Tapi membayangkan acara mereka semalam, membuat pipinya memanas. Bagaimana bisa ia jadi semanja itu pada Jungkook? Apa Jungkook tak merasa jijik? Aku kan pria.
"Kook-ah." Jungkook berdehem. "Aku harus pulang."
Ponsel Jimin bergetar-getar di nakas. Jungkook bangun karna terganggu. Melihat siapa nama disana, mengulurkan tangan melewati kepala Jimin dan mematikan ponselnya.
"Itu ponselku." Jimin protes dan Jungkook memeluk semakin erat. Jimin mendesah. Menggeliat, berusaha melepaskan lingkaran Jungkook dari tubuhnya. "Berhenti lakukan ini, aku bukan perempuan. Cari cewek sana!"
Jungkook terkekeh dengan cara yang manis. Matanya masih menyipit, hidungnya mengernyit lucu. Jimin tak bisa tak memperhatikan itu dalam kagum. Jungkook memejamkan matanya sekali lagi. Tapi Jimin tidak berhenti menggeliat. Jungkook beralih pada kakinya, melingkarkan pada kaki Jimin yang tak mau diam memberontak.
"Sekarang jam berapa? Ibuku bakal marah."
"Aku sudah telpon ibumu. Dia bilang, gunakan waktumu dengan baik nak Jungkook, Jimin juga merindukanmu."
"Gila. Kau pasti bohong. Sekarang lepaskan."
"Beri aku morning kiss." Jungkook memajukan tubuh, menunjukkan pipinya yang mulus kedekat bibir Jimin untuk dikecup. Jimin memerah dan mendorong kepala Jungkook menjauh. "Bersikaplah sedikit romantis."
"Pantatmu!"
Jimin mendorong tubuh Jungkook juga hingga pelukan mereka terlepas. Jimin terburu-buru bangun. Berdiri di samping ranjang. Ini bisa jadi mimpi gila kalau Jimin terus-terusan terbayang pagi indah bersama Jeon Jungkook, dikasurnya, dikamarnya, di Busan, duh. Jimin tak mau judul diatas jadi kenangan buruk kalau ia berpisah dengan Jungkook.
"Aku harus pulang."
"Kenapa buru-buru?"
"Ada janji bersama temanku pukul 11. Aku juga harusnya punya janji dengan dia kemarin. Tapi karna ada kau, semua acaraku jadi gagal." Jimin sengaja mengatakannya keras-keras. Ingin tahu saja bagaimana reaksi pria itu. Tapi Jungkook tak terlihat tersinggung sama sekali. Ia justru bersandar pada dipan dan menatap Jimin dari kepala sampai kaki. Tatapan yang mengintimidasi di kasur kingsizenya yang berantakan. Tuhan... pikiran Jimin yang tak beres ini salahkan saja pada alkohol semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
Fiksi PenggemarJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -