Mereka berbagi tugas. Jimin dengan makanan utama dan Jungkook dengan makanan penutup. Jungkook dan Jimin, mereka tampak kompak. Ketika Jimin kesulitan mengambil sesuatu dirak teratas, Jungkook berada disana untuk membantu. Begitu juga sebaliknya.
Jungkook tak terlihat pantas disandingkan dengan apron pink, apalagi memegang spatula. Dia cowok tulen yang seharusnya berkutat dengan kegiatan fisik hingga menguras keringat. Dia tak cocok dengan gaya feminim.
Jimin hampir tertawa melihatnya. Namun ketika Jungkook mulai menggunakan spatula untuk membalik sebuah pancake goreng, Jimin hampir menyemburkan suara kagum.
Meski Jungkook tak tampak cocok didapur karna tubuhnya yang kekar, dia melakukan semua hal yang benar dengan peralatan dapur. Dia membalik pancake layaknya profesional.
"Kenapa?" Jungkook melempar tanya begitu merasakan tatapan menusuk dari Jimin diarahkan padanya. Masih dengan memegang spatula dan sibuk dengan beberapa pancake, Jungkook melanjutkan. "Jangan terpesona begitu."
Jimin melakukan hal bodoh karna memerah malu walau Jungkook tak dapat melihat wajahnya. "Kau masak dengan baik." Jimin kembali berkonsentrasi dengan pastanya. "Pasti sulit bagimu tinggal sendirian." Jimin bergumam, tanpa ia sadari, Jungkook mengeraskan rahang. "Tak terbayang olehku bagaimana rasanya. Pasti kesepian."
Jungkook menghiraukan, ia memilih berkonsentrasi pada masakannya.
Tak berapa lama setelah meniriskan pasta, Jimin pergi untuk menata piring di meja makan. Jungkook dengan lihai menaruh pancakenya ke piring pipih berwarna putih.
Beberapa menit berlalu. Jimin dan Jungkook makan dalam hening. Jimin merasa ganjil, sebelumnya mereka hanya seekor anjing dan tikus yang tak pernah akur kalau bertemu. Tapi menyadari mereka cukup dekat seperti sekarang ini membuat Jimin geleng-geleng kepala heran dibawah kesadarannya. Mereka bahkan saling bertukar cerita dan masak bersama.
Jungkook pikir, Jimin dan dirinya memiliki banyak kesamaan. Masing-masing keluarga mereka tak berjalan baik. Jimin bahkan diperlakukan keras hingga melukai fisik dan batinnya. Jungkook agak kagum--sebenarnya--sangat kagum.
Jimin memilih bangkit dan memperbaiki masa depannya. Dia tak memilih jalan yang dipilih Jungkook. Menjadi pembangkang yang sulit diatur. Menjadi seorang yang tak berguna bagi siapapun bahkan kedua orang tuanya. Baru kali ini Jungkook mengakui dirinya bersalah. Dia memiliki pemahaman yang keluar dari jalur kebenaran. Seharusnya Jungkook dapat belajar dari apa yang sudah dilaluinya, seperti yang Jimin lakukan. Meski sangat sulit dengan kasus yang berbeda pula.
Jimin dapat mengontrol kegiatan sekolah, mengikuti setiap ujian dengan baik. Dibalik itu, Jimin menyembunyikan segala kesakitannya hingga rasanya Jungkook ingin bertemu pria yang sudah melukai lelaki itu dan menghajarnya sampai babak belur.
Jimin sedang sibuk memutar pasta hingga menyelimuti garpunya ketika Jungkook beralih menatap profil lelaki itu.
Jimin memiliki tubuh mungil, dengan kulit halus seperti kulit bayi. Putih bersih sedikit pucat. Ia menjaga tubuhnya dengan baik. Bahkan Jimin bilang--hal yang hampir Jungkook tak percaya--dia punya sixpack. Bagaimana bisa lelaki manis memiliki sixpack, dia pikir Jimin cocoknya punya tummy. Jungkook penasaran rasanya rebahan diatas perut Jimin yang kotak-kotak--atau dia berharap--tummy saja.
Jimin lelaki menawan dengan caranya sendiri. Tak pernah menggantungkan hidup pada orang lain. Ia lelaki mandiri yang meyakinkan dirinya untuk tak merepotkan siapapun. Dia berjiwa sosial tinggi. Aku dapat melihatnya langsung walau hanya lewat raut wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
FanfictionJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -