Jungkook menatap Jimin yang tetap menunduk. "Itu poinnya." Jungkook buka suara. Jimin menoleh, dengan mata lebar yang menunjukkan kepolosan dan terkejut.
Dia imut. Jungkook heran bagaimana seorang pemuda bisa terlihat sangat manis bahkan ketika dia sakit dan tidak berdaya.
"Aku cukup baik untuk mengajarkan beberapa hal padamu. Tapi kau tetap keras kepala yang membuatmu seperti tetap ditempat dan takkan pernah maju."
"Yaa... kupikir juga begitu." Jimin menunduk, memainkan kuku-kuku jarinya.
Jungkook menerawang ke atap. "Ini sudah pukul 2. Kau harus tidur."
Jungkook memejamkan mata. Apa yang barusan mereka bicarakan, membuat Jungkook berpikir betapa konyolnya dia dan bodohnya Jimin untuk menelan semua kata-katanya begitu saja.
Jungkook bukan orang paling benar disini. Tak ada yang paling benar.
Jungkook serius ketika ia berjanji mengajarkannya beberapa hal. Tapi semakin ia berpikir, semakin ia yakin semua hanya konyol belaka. Jungkook agak bersyukur ketika Jimin pertama-tama menolak usulannya. Atau ini akan berakhir dengan cara yang sangat tidak wajar dan canggung.
Jungkook tak mengerti darimana ia mendapatkan gagasan semacam itu dibenaknya. Jungkook hanya merasa benar tentang itu. Tentang membuat Jimin terus didekatnya.
Sampai detik ini pun, Jungkook masih tak tahu apa yang istimewa dari Jimin selain pemuda itu berbeda. Dia terasingkan dari pergaulan dan begitu menyedihkan ketika ia tahu bahwa semua itu cuman bagian dari ketidakpercayaan dirinya. Dia merasa miskin dan keluarganya berantakan. Memang tak ada yang bisa dibanggakan.
Jungkook akan berfikiran yang sama jika ia adalah Jimin. Yang berbeda dari mereka adalah, Jungkook akan langsung membunuh ayahnya jika dia sudah keterlaluan menyiksa sang ibu.
Jungkook tahu bahwa Jimin takkan mampu untuk melakukannya. Dia pria, namun terlalu berporos dengan hati. Jungkook tak bisa memojokkan Jimin hanya karna itu.
Dibalik semua, ia justru membutuhkan sebuah pemikiran yang jujur dan lembut. Jimin... dia polos dan terlalu menerima apa yang Tuhan beri padanya. Dia pandai bersyukur, rendah hati dan tulus. Tuhan hanya menciptakan 10 orang dari 100 yang sepertinya.
Sebelum Jungkook muntah...
KENAPA IA PERLU MEMIKIRKANNYA?!
Jungkook terlonjak dalam gelap ketika ia merasakan usapan lembut di kening.
Jungkook membuka kedua mata, terduduk dan memegang kuat lengan dalam kegelapan. Wajah mereka begitu dekat. Jimin meringis merasakan genggaman Jungkook.
"K-keningmu berkerut." Jimin tergagap. "Kupikir kau mimpi buruk lagi."
"Tidak," ia berdehem. Melonggarkan genggaman tangan. "Aku belum tidur."
"Jangan banyak berpikir. Kau hanya perlu menjalaninya."
Mereka sangat dekat. Jungkook bahkan dapat melihat pupil Jimin yang melebar.
Jimin tak apa-apa dengan posisi ini? Atau ia juga merasakan hal sama yang Jungkook rasa sekarang. Berdebar dan panas dingin. Yang anehnya, Jungkook merasa nyaman. Debaran jantung ini mengingatkan Jungkook pada masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
FanfictionJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -