"Aku gamau." Jimin memberengut. Dia melipat tangan di depan dada.
"Jimin, tolong jangan bersikap seperti anak kecil. Kau tahu benar ini demi kebaikanmu. Jungkook bersedia menolongmu tanpa meminta apapun dari kau dan ibu. Dia begitu peduli padamu nak."
"Aku gamau bu, ibu harus hargai keinginanku. Aku akan disini. Bersama ibu. Bukankah itu yang ibu mau?"
"Semuanya berubah. Kau lihat? Kau bahkan gabisa duduk dengan benar."
"Aku tetep gamau. Ini ide gila. Gimana bisa ibu membiarkanku hidup berdua saja dengan Jungkook."
"Setuju atau tidak. Ibu tetap akan mengirimmu bersamanya."
"Ibu!"
¤☆¤
Ini semua ga adil. Jimin ingat saat dia disuntikan cairan berwarna kuning. Begitu saja, tidak ada secuil memori pun mengenai naik helikopter dan tiba-tiba saja sedang diturunkan untuk dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Seperti dia barang saja.
Ini ulah Jungkook. Jimin tahu sekali!
"Suster," Jimin menahan baju salah seorang dari mereka. "aku dimana?"
"Gedung Myung Gun, apa anda merasa sakit? Kita akan tiba di rumah sakit sekitar 5 menit. Tapi jika anda membutuhkannya, saya bisa menyuntikkan penahan rasa sakit sekarang."
"Tidak, terimakasih. Dimana Jungkook?"
"Tuan muda Jeon?"
Tuan muda Jeon? Sekaya itu Jeon Jungkook, huh? "Ya, bisa tolong panggilkan dia untukku."
"Maaf, Tuan muda tidak berada disekitar. Saya tidak memiliki cukup akses untuk menghubunginya, maafkan saya."
"Oh, oke. Tidak apa-apa." Jimin hanya menatap ke atap ambulance. Atau pada peralatan yang tertata di samping kanan-kirinya. Ada dua orang suster laki-laki di bawah kakinya. Tapi Jimin tidak punya kuasa untuk menengok. Dia terlalu lemah. Obat itu masih bekerja untuk melumpuhkan tubuhnya.
¤☆¤
Tebak sudah berapa lama Jimin berada dirumah sakit menjalani terapi, dan berapa kali Jungkook datang menemuinya.
Jawabannya; sudah jalan 13 hari dan tidak pernah.
Menyedihkan. Tapi memang begitu faktanya. Jungkook tak pernah terlihat dirumah sakit. Tidak pernah menemui Jimin. Menanyakan kabar atau bagaimana terapinya berjalan. Cuman aliran dananya yang terus mengucur seperti membiayai seorang nenek pada masa tuanya di panti jompo. Tidak peduli sama sekali dan hanya tinggal tunggu berita dia sudah mati di makan usia.
Sialnya Jimin ga bakal mati secepat itu. Terapi berjalan lancar. Dia sudah bisa berjalan dengan tongkat. Semua anggota tubuhnya sudah bisa digerakkan. Kira-kira dia bisa hidup 1 tahun kedepan tanpa penyakit pencepat kematian seperti kanker atau tumor otak. Karna terakhir dia diperiksa, cuman pinggangnya saja yang punya masalah. Kecuali tiba-tiba saja dia mengalami kecelakaan atau tersambar petir. Itu bukan kuasa Jimin atau Jungkook gabisa mengirimkan dirinya kemanapun yang dia mau untuk membuat Jimin tetap hidup. Karna mungkin saja dia langsung mati detik itu juga. Jungkook si kaya raya juga ga punya kuasa.
Kalau dipikir-pikir lagi, Jimin jadi jengkel sekali. Saking jengkelnya, Jimin bisa saja keluar dari rumah sakit, membawa dua tongkat jalan di samping kanan-kirinya dan berkeliling Seoul hanya untuk mencari laki-laki itu. Tapi dia masih waras. Tunggu saja sampai dia tak gunakan dua tongkat ini lagi. Jimin bakal balas pemuda itu seperti yang pernah dia lakukan dulu. Menonjoknya ditempat lain selain perut. Bagian yang paling menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
FanfictionJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -