twenty-eight.

2.9K 459 22
                                    

Tanpa siapapun sadari, Jimin sudah dua minggu lamanya menetap di Busan. Melupakan kewajiban sekolah di Seoul. Dia menghabiskan waktu dengan membantu ibunya dan bibi Shin. Nongkrong di taman bersama kawan-kawan masa kecil. Jimin tak sangka Jun myeon-hyung yang lima tahun lebih tua sekarang sudah punya seorang anak perempuan yang belum genap satu tahun. Jiaheng-hyung punya satu market dan dua anak kembar. Zi Tao-hyung punya satu restoran china. Yang paling ekstrim dari semuanya adalah SeHun-hyung, dia punya usaha sedot tinja merangkap seorang model lokal Busan terkenal. Jimin tertawa tak henti-henti. Bagaimana bisa seorang model punya usaha seekstrim itu. Dia geleng-geleng tak percaya.

"Kau Jim?"

Darisitu Jimin baru sadar dia sudah meninggalakan sekolah satu bulan lamanya. "Aku masih sekolah hyung."

"Aku putus SMP." kata Jiaheng-hyung.

"Aku putus SD dan memulai usahaku." lanjut SeHun-hyung. Jimin tertawa lagi ingat usaha sedot tinja.

Dia pikir tinja orang-orang busan dibuang saja ke laut supaya dimakan ikan dan eww ia jijik membayangkannya. Taunya, SeHun-hyung ini juga punya usaha pupuk dari tinja manusia. Di ekspor ke Jepang. Apa tidak sukses sekali hidupnya?

"Makanya, jangan main-main dengan tinja manusia." kata dia memberi motivasi. Jimin mengangguk-angguk setuju.

Mereka menghabiskan waktu minum soju. Jimin tak ikut minum, ia tidak mood. Jadi ia hanya mengemil kacang dan soondae yang disediakan dengan soju.

Mereka bercanda, mengobrol ngalur ngidul yang membuat perut terkocok, hanya seperti itu hingga tengah malam dan Jimin dengan berat hati pamit pulang.

¤☆¤

Pagi harinya, ada yang mengetuk pintu. Ibu Jimin izin untuk pergi ke pasar pagi buta. Semata-mata mengingat masa lalu. Padahal kalau dia mau belanja di market Jaaheng-hyung, semua tersedia disana sampai tengah hari.

Mungkin bibi Shin yang mengetuk, atau Jongin yang terlalu exited mengajak bermain dipantai. Mengenang masa lalu.

Jimin memaksa bangun. Dengan malas berjalan ke pintu. Seseorang diluar mengetuk tak sabaran. Jimin bakal jitak kepala Jongin kalau itu benar-benar dia. Jimin menguap hebat, tanpa sadar lengannya memutar tuas. Jimin langsung melongo tak elit melihat siapa disana.

Jimin menutup pintu cepat-cepat. Tepat dihidung pria itu. "Buka Jimin." Jimin bisa mendengar nafas beku yang dikeluarkan. Dia sampai bisa membayangkan uap air bercampur aroma mint menguap dari belah bibirnya yang tipis. "Dingin, Park. Kau harus buka pintu sebelum aku mendobrak masuk."

Jimin menelan ludah. Menghapus iler di sisi bibir. Telan ludah lagi, dada Jimin berdegup tak wajar. Gila jantungnya. Segini berpengaruh pria itu bagi tubuhnya. Jimin memutar tuas.

Alisnya mengernyit tak suka. Wajahnya sudah ia pasang sejutek mungkin. "Kenapa?" Itu tanya Jungkook. Seharusnya Jimin yang tanya karna ia tak mengharapkan pria itu kesini sama sekali. "Aku tahu jenis ekspresi itu. Tapi biarkan aku masuk, disini dingin sekali."

Jimin masih menatap Jungkook malas. Mundur selangkah, namun Jungkook langsung masuk begitu saja sampai Jimin hampir tersungkur kalau tak berpegangan pada kenop. Gezz... pria itu.

Jungkook duduk disofa. Telapak tangan saling ia gesekkan memberi hawa panas. Pemanas ruangan sudah menyala. Jungkook takkan merasakan dingin lagi untuk beberapa saat. Dengan sangat terpaksa, Jimin pergi kedapur dan membuat dua cokelat panas. Salah satunya ia berikan pada Jungkook. Si tamu tak diundang.

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang