Ketika kami kembali, sidang telah berjalan. Hakim tidak memanggil saksi karna bukti-bukti yang terkumpul menguatkan Park Pill Woo sebagai tersangka. Ayah Jimin tidak berdiskusi dengan Penasihat Hukum. Dia mengerti seluruh penjelasan yang diberikan Jaksa Penuntut sehingga sidang berjalan lancar dan terlampau cepat.
Ketika putusan akhirnya disampaikan, Ibu Jimin jatuh pingsan dibangku penonton. Ayah Jimin dihukum 10 tahun kurungan. Dengan dakwaan perbuatan yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat.
Jungkook bermaksud mengadu mengenai kekerasan rumah tangga yang dilakukannya juga. Namun melihat Jimin dan ibunya cukup terluka, ia tidak melakukannya.
Persidangan ditutup. Ayah Jimin tidak menghampiri mereka. Dia segera berlalu dengan borgol dikedua tangannya dan pengawal disisi tubuhnya.
Jimin menatap ayahnya nanar. Mematung ditempat.
Jungkook berjalan mendekat. Menatap ayah Jimin juga. "Dia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal." gumam Jimin. Matanya menyiratkan kesedihan.
Jungkook mematung. Diam. Sibuk dengan pikiranku.
"Dia tidak panik sama sekali saat ibu pingsan. Seluruh ruangan jadi bising. Tapi dia tidak menoleh kebelakang sama sekali. Seperti dia tahu siapa yang jatuh dan tidak peduli siapapun itu."
Jungkook masih diam. Tidak mengatakan apapun. Tidak ada satupun kalimat Jimin yang dapat ia sanggah atau lontaran kalimat yang memutar dikepalanya dijamin bisa membuat Jimin merasa lebih baik.
Sampai akhirnya ia mengucap, "Aku paham yang kau rasakan sebelumnya."
Jimin menoleh. "Apa?"
"Aku paham sekarang. Bahagia diatas penderitaan orang lain. Aku bahagia ayahmu dikurung selama itu."
Jimin tersenyum. Kekehan lemah keluar dari sela bibirnya. "Kenapa kau ikut senang?"
"Entahlah." Jungkook menerawang. "Mungkin karna ia sudah membuatmu memar dibanyak tempat."
"Aku juga bahagia." kata Jimin. "Tapi hukumannya terlampau lama. Aku sudah jadi ayah saat dia keluar nanti."
"Seperti kau akan menikah saja."
"Aish!" Jimin menampar pundaknya keras. Jungkook tergelak. Bibir Jimin dimanyunkan. Matanya menyoroti Jungkook tajam. Namun daripada merasa takut, ia justru ingin melihat ekspresi itu lebih sering. Jadi Jungkook menggodainya lagi. "Laki-laki dan laki-laki mana bisa punya anak."
"Apasih." merajuk. Jimin masih memukul pundak Jungkook, kali ini lebih keras. Jungkook tergelak makin kencang.
"Kau kan menyukaiku. Ayo hidup bersam-aw!" Pinggangnya dicubit. Terasa kebas. Sakit. Tapi ia masih tertawa.
"Hentikan. Hentikan." bisik Jimin. Dia malu. Wajahnya memerah sampai telinga. Walau begitu, dia tidak bisa menahan senyumnya yang perlahan melebar. Mekar begitu indah. Jungkook terdiam saat Jimin masih merajuk dan tersenyum malu-malu. Menikmati senyumnya. Terbawa larut dengan gelak tawanya yang terdengar indah. Ia tidak pernah semelankolis ini sebelumnya. "Entah kenapa." Dia tertawa lagi. "Aku tidak bisa tidak tertawa saat kau tertawa. Dipikir-pikir, aku tidak pernah melihat tawamu sejak dulu. Ternyata tawamu indah. Bisa menular begitu. Keren." jelas Jimin. Jungkook tersenyum. Apa dia baru saja kelepasan memujiku?
"Aku memang menawan kan."
Jimin berdehem. Seperti sadar apa yang sudah dilakukannya. Tawanya berhenti. Menatap wajah Jungkook. "Kamu memang menawan kok." aku Jimin.
Jungkook berkedip. Keheningan mengisi mereka. Jadi selanjutnya Jungkook yang berdehem. "Kita harus bertemu ibumu."
Jimin mengikuti dibelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
FanfictionJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -