twenty-six.

3K 487 64
                                    

"Aku tahu kau tak sampai bertemu Jungkook." kata Taehyung.

Jimin menoleh, Taehyung membalas tatapannya sebelum kembali fokus ke jalan.

"Jangan sembunyikan sakitmu dibalik senyum menggemaskan itu. Aku tahu kau tak sampai kamarnya karna begitu melewati lorong, kau lihat pemandangan itu kan," terang Taehyung. Jimin bisa apa. Ia hanya menunduk memainkan jemarinya sebelum Taehyung mengucap sesuatu yang tak pernah Jimin pikir akan dengar. "Tidak apa untuk mencintai sahabatku."

Jimin mengangkat wajah. Menatap dengan horor. Taehyung hanya menatap sekilas untuk melihat reaksinya. Jimin tak menemukan kata-kata yang cocok untuk diucapkan. Ada keheningan yang menguar diudara. Tiba-tiba udara menghangat. Pipi gembulnya dipenuhi rona merah. Ia sangat malu. "Jungkook punya keluarga yang gay juga. Itu bukan masalah besar jika kau mencintainya." Jimin tak bisa menahan perasaan tak nyaman yang menyebar. Jadi sebelum semuanya menjadi lebih buruk dia menginterupsi. Mengatakan Taehyung untuk berhenti.

"Apa?" tanya Taehyung.

"Aku tak mau bicarakan hal itu."

"Kalian itu cocok berdua. Satunya si kaku apa adanya dan yang satu si bodoh delusional."

"Kenapa kau membawaku pergi?"

"Hanya ingin membicarakan satu atau dua hal."

"Katakan saja langsung. Maaf, tapi aku tak punya banyak waktu."

"Tunggu sebentar."

¤☆¤

Ketika akhirnya mereka tiba di sebuah taman, Taehyung mengeluarkan satu skateboard dan sebuah hoverboard dari bagasi. Jimin menatap dalam diam.

"Ini." Hoverboard diberikan padanya. Jimin ambil tanpa bertanya lebih banyak. Apa sebenarnya yang mau Kim Taehyung katakan sampai melibatkan sebuah hoverboard dan papan skate. "Ayo." Pergelangan Jimin ditahan, ditarik hingga mencapai lintasan skate.

"Tahu cara main hoverboard?" Jimin tahu sedikit. Dia lihat benda semacam itu dimainkan ditelevisi atau youtube. Jimin mengangguk. Taehyung tersenyum. "Kalau begitu kita balapan. Siapa yang mencapai garis finish pertama dapat satu rahasia. Kau bisa tanyakan apapun dari yang kalah."

"Rahasia?"

"Tak perlu rahasia juga boleh, kau bisa tanyakan apapun dan lawanmu akan menjawab jujur."

"Tapi-" Taehyung menoleh. "Aku tak punya rahasia untuk dibagi." Taehyung tersenyum. Mendekat untuk mengusak rambut Jimin yang terasa lembut di sela jarinya. Jimin diam saja. Lebih-lebih, Kim Taehyung mengingatkannya pada Jungkook yang diktaktor dalam versi yang lebih sopan.

"Kau tak tahu apa yang aku tanyakan. Banyak hal yang ingin kutahu darimu Jimin."

Jimin mengernyit saja. Ketika Taehyung menyuruhnya berdiri di garis start, ia menurut. Siap sedia di papan seluncur. "Start!"

Jimin tak punya kesulitan berarti. Dia dapat beradaptasi dengan cepat. Ia yakin bahwa Taehyung akan kalah. Bagaimanapun, mesin lebih canggih daripada tenaga manusia dalam tujuannya. Itu kenapa mesin diciptakan. Terlebih Jimin merasa melayang, ia yakin sudah mengendarai dengan kekuatan penuh. Ia merasa terbang, angin malam menerpa tiap helai rambutnya dan menelusup langsung melalui pori-pori. Hampir membuat Jimin menggigil. Tapi ia menikmati bagaimana semua terasa terlewat dibelakangnya. Seperti ia sudah berlari berkilo-kilo meter dari Jungkook dan ibunya. Meninggalkan mereka dibelakang. Jimin menutup mata. Menikmati setiap hembusan yang menampar wajahnya. Itu sebelum satu angin menampar terlalu kencang dan begitu Jimin buka mata, Taehyung melesat cepat di depannya. Mengayuh dengan kakinya yang panjang. Kekehan memenuhi suara malam. Jimin panik. Bergerak lebih condong, Jimin khawatir ia akan jatuh. Jadi dia menahan jengkel ketika Taehyung dengan tawa menyusulnya dari belakang. Pria itu bahkan sudah memutar dua putaran.

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang