twenty-seven.

3.4K 454 44
                                    

Sisa hari itu berjalan baik. Taehyung tak membiarkan suasana canggung menguar melewati mereka. Pria itu mencari banyak topik, sampai Jimin lupa tentang Jungkook walau beberapa saat. Hanya saat Taehyung disampingnya dan membicarakan banyak hal. Ngalor-ngidul tidak jelas. Yang Jimin tahu Jungkook tak punya sifat Taehyung yang bawel dan humoris.

Namun ketika ia tiba dirumah dan Taehyung pamit pulang, pikiran Jimin kembali pada pria bertubuh bongsor itu. Yang memiliki dua gigi lebih besar didepan dan mata lebar seakan bisa memerangkap dunia.

Jimin menghela nafas saja, besok-besok ia pasti bisa melupakan. Ibunya datang dari ruang tamu. Tergopoh-gopoh membawa koper dan kardus ke teras. Jimin tahu waktunya disini sudah tak banyak. Belum lagi saat suara klakson menghentikan lamunan. Ketika Jimin menoleh, mobil pick up baru saja datang. Dua orang turun dari pintu kemudi.

"Selamat malam Mrs. Park dan Tuan," Jimin mengangguk dan tersenyum.

Setelah setengah jam barang-barang selesai masuk. Jimin menghela nafas. Seperti ada yang kurang untuk meninggalkan tempat ini. Jimin akan kembali. Pasti. Tapi ia tak tahu kapan akan terjadi.

Ibu mengelus punggungnya, menuntun Jimin untuk naik ke mobil.

Perjalanan Seoul menuju Busan begitu membosankan. Smartphone Jimin kehabisan baterai sekitar satu jam lalu. Tidak ada lagu pengiring untuk menghibur. Ibunya tertidur. Ngobrol dengan dua orang di bangku kemudi juga bukan pilihan yang bagus. Jimin tak suka basa-basi. Itu bukan gayanya. Jadi Jimin membuang wajah kesamping, memperhatikan jalanan yang sepi dimalam hari. Hanya ada satu dua mobil yang lewat didepan mata. Jimin mati bosan. Ketika suasana begitu sunyi dan ia tak mengantuk, pikirannya justru penuh dengan beberapa hal yang tak mau ia ingat. Karna itu ia merasa sial sekali ketika baterai ponselnya habis.

Mau tak mau, pikirannya penuh dengan Jungkook. Pria itu yang belakangan menghiasi harinya, pikirannya. Semua baik-baik saja, Jimin perlahan bisa memaafkan tentang universitas dan perlakuan menyebalkannya. Lagipula Jungkook sudah memberi yang ia tak mampu balas. Perasaan ditemani itu... Jimin sangat berterimakasih.

Jimin tahu ia marah, tapi ia benci ketika tak dapat melakukan apapun saat Jungkook terasa mengkhianatinya. Mengkhianati Jimin sendiri. Bukan mengkhianati apa-apa. Apalagi mengkhianati hubungan mereka. Memang selama ini, apa yang mereka jalani? Tak ada kata yang bisa menjelaskan bahkan menggambarkan. Jimin menjadi pemeran dihidupnya sendiri. Sendirian, tak ada yang mau terlibat seperti biasa.

Jungkook tampak terlalu misterius. Jimin sampai tak bisa mejabarkan lewat kata-kata. Kalau Jungkook tak menyukainya lalu kenapa ia melakukan itu semua untuk Jimin. Rasa kasihan? Jimin tampaknya terlalu membawa serius hubungannya bersama Jungkook. Seperti yang pernah pria itu bilang. Jimin makin membenci dirinya sekarang. Kenapa ia bisa terlihat begitu murahan? Jimin mengutuk dalam hati. Seumur hidupnya, Jimin tak mau lagi terlibat dengan Jungkook. Bagaimanapun, meski Jungkook tak melakukan hal spesial, Jimin tetap akan jatuh lagi dan lagi. Dari awal ini memang salahnya seorang.

Jimin melempar jauh-jauh pikirannya. Jika ia tak berhenti memikirkan Jungkook, lalu kapan ia akan mulai menjauhi perasaannya dari hal romansa sialan ini. Jimin tak mau lagi mengagumi seseorang. Tak lagi dan berencana takkan pernah. Suatu saat, biarlah pasangannya yang terlalu mencintai Jimin. Tapi bukan dia. Jimin tak mau jadi yang mencintai lebih banyak.

Jimin jatuh tertidur beberapa saat kemudian, begitu ia membuka mata, hal pertama yang ia lihat hanya orang-orang yang bolak-balik membawa barang ibunya. Jimin mengusak mata, beruntung ia tiba lebih cepat. Perjalanan membosankan akhirnya terhenti.

FOLLOW THE BRAIN || jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang