Darah punya peran penting dalam hidup Jimin. Dengan darah, hidupnya terselamatkan tujuh tahun lalu. Tapi dengan darah juga, ketakutannya selalu datang. Jimin mungkin membenci darah. Tapi ia tak pernah berharap cairan merah itu pergi dari kehidupannya. Darah menyelamatkan sekaligus membunuh banyak orang. Tubuh manusia bergantung padanya, sedangkan dengan sedikit sayatan saja, darah bisa mengalir dari sel yang terbelah.
Berhenti Jimin! Jimin menggeleng kencang. Berhenti membicarakan darah. Pemikiran tak penting sudah ia lakukan sejak satu jam lalu ketika bosan melandanya bagai badai pasir di Saudi Arabia. Itu benar-benar masalah besar. Seakan Jimin berdiri menantang untuk dihempas.
Muak, Jimin memilih pergi ke balkon. Jalanan Seoul padat kendaraan. Polusi bercampur di udara. Tak ada yang menarik dimatanya. Jimin berbalik menatap kesal pintu coklat yang tertutup rapat.
Pria itu bilang akan menemaninya ketika Jimin bertanya kenapa ia tak pergi sekolah. Tapi yang dilakukannya sekarang justru membuat Jimin semakin merasa kesal. Dia berbohong. Pria itu tidak menemaninya. Dia justru menghabiskan waktu seharian di kamar. Jimin tahu apa yang dilakukan pria itu. Apalagi kalau bukan main game sialan. Jungkook benar-benar harus lebih sering keluar kamar.
Jimin tak pernah mahir bermain games. Karna itu ketika ia memaksakan diri ikut Jungkook dan bermain permainan dengan 2 player, Jungkook menolak keras. Katanya ia tak seru dalam urusan bermain. Sana baca saja bukumu, katanya. Sayangnya, novel Jimin tertinggal di rumah. Ia tak bisa hanya pergi kerumah dan diberondong dengan pertanyaan.
Jimin mengetuk pintu kamar Jungkook kasar. Ketika tak juga mendapatkan balasan, ia membuka pintu. Hal pertama yang tertangkap gendang telinga Jimin adalah permainan console yang memuakkan itu.
Jimin membuka lebar-lebar pintu kamar Jungkook. Suara memekakkan gamenya mengisi seluruh apartemen.
Jungkook tak menoleh sedikitpun. Dia tetap berkonsentrasi pada apapun yang terpampang dilayar. Orang tinggi besar, memgeluarkan api dari mulutnya. Jungkook melawan makluk itu dari tepi bukit saking tingginya apapun itu yang ia lawan di layar.
Jimin mengambil kripik kentang dan dua kaleng soda dikulkas. Lantas kembali kekamar Jungkook. Jimin menaruh snack-nya dan soda bagian Jungkook dekat pria itu hingga mudah digapai. Jungkook masih tak mengalihkan perhatian. Jimin memilih tiduran dikasur empuk milik lelaki itu. Menelungkupkan diri sambil memperhatikan bagaimana Jungkook memainkan game-nya secara brutal.
Jimin membuka mulut, hendak menanyakan sesuatu tapi kesadaran menghantamnya. Jimin bangun, beralih menuju spiker, menurunkan volume game-nya sedikit.
"Hei," protes Jungkook. Meski ia tak mengalihkan perhatian. Jimin tak peduli. Dia kembali tertelungkup di kasur lelaki itu. Mengemil kripik dan minum soda sambil memperhatikan layar monitor.
Level up, Jungkook berbalik ketika gamenya memberi jeda. "Apa yang kau lakukan?"
"Menemanimu."
Jungkook menyeringai. Tahu kalau lelaki itu sedang menyindirnya. "Aku sudah menemanimu di kamar. Apa itu belum cukup?"
"Menemani itu artinya berada disisiku. Bukan diruangan lain dan sibuk main game."
Jungkook berkedip. Otaknya memberi ide. Seringai terbentuk diwajahnya yang tampan. Jungkook maju, melipat lengannya diatas kasur dihadapan Jimin. Menitipiskan jarak diantara mereka. Jimin tak bisa melakukan apapun. Ujung kakinya sudah menyentuh dipan. Dia terjebak dengan posisinya yang tak menguntungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOLLOW THE BRAIN || jikook
FanfictionJimin lapar dengan rasa bahagia yang jarang dicecapnya. @disjikookluvgongrazy start : march 16. end : -