Gue takut nyakitin siapapun,
terutama lo.-M
Sampai rumah, cowok dingin bermata biru itu menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil menutup mata. Tanpa melepaskan sepatu dan seragam yang masih dipakainya, Gazza menggelepar lelah di sofa rumahnya yang memang semakin sepi semenjak Cassie, kakak perempuan satu-satunya melanjutkan studi ke Paris.
Di rumah sebesar ini, ia memang hanya tinggal bersama kedua orangtuanya dan beberapa pembantu serta supir. Namun hari ini orang tuanya memang ada acara diluar rumah, sepertinya sedang menjenguk sahabat mereka yang baru saja melahirkan. Gazza tidak terlalu paham, dia hanya mengangguk saat kedua orang tuanya membicarakan hal itu semalam.
Teringat akan sesuatu, ia bangkit lalu segera merogoh ponselnya untuk mencari sesuatu. Sebuah kontak seseorang yang mungkin akan membantunya mencairkan atmosfer beku yang selama ini masih melekat. Semua es bisa mencair jika ada media pencairnya kan? mungkin, inilah saatnya Gazza akan mulai mencari media pencairnya sendiri.
Gerakan tangannya berhenti, ia mengamati kontak itu sambil memikirkan sesuatu. Ragu, satu kata yang masih membuatnya enggan untuk menentukan satu hal sampai saat ini. Ia menyukai senyuman dan sorot mata hijau keabuan milik gadis itu, namun belum ada hal lain yang membuat getaran itu ada. Getaran itu masih normal, semakin normal saat mata abu lain justru membuatnya merasa nyaman.
Gazza A : Gue jemput lo jam 7.
Gazza A : Kita jalan.
Cowok itu mengangkat tipis sudut bibirnya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar. Ia butuh istirahat, apalagi luka lebamnya memang belum sembuh total. Lukanya belum sembuh, sedangkan ia bahkan tidak tau kalau sebentar lagi mungkin dialah yang menjadi penyebab luka itu.
Di tempat lain, Marcell yang sedang memukuli samsak di belakang rumah belum juga beranjak meski Liona sudah beberapa kali memanggilnya. Bukannya tuli, cowok itu hanya tidak mendengar teriakan mamanya karena suara dentuman tangan dengan samsak yang memang sengaja ia keraskan dari tadi. Ada sesuatu yang ia rasa perlu dikeluarkan, sesuatu yang terlalu berat untuk dikatakan, hingga pada akhirnya harus memaksa ia untuk mundur dengan cara baik-baik.
Keringat yang mengucur hingga membuat bajunya basah tidak lagi ia hiraukan, suasana hatinya sama sekali belum membaik. Semua kenangan dan kejadian itu berkumpul menjadi satu dalam otaknya, salah satu alasan ia ragu sampai saat ini hanyalah karena itu, ia takut, takut semuanya akan terulang dan kembali menyakiti.
"MARCELLL!!! Mama daritadi udah teriak sampek suara mau habis gini, kamu malah asik mukulin guling gendut itu, ibu kamu dia atau mama?"
Mendengar suara cerewet dari mamanya, ia menoleh dan memegangi samsak untuk menahan gerakan yang mungkin saja bisa mengenai mamanya. Dari jarak sekitar 1 meter dari tempatnya berdiri, dilihatnya Liona sedang menatapnya nyalang sambil menggandeng Lili yang sedang menggenggam boneka rubah mini bewarna putih.
"Malah diem aja, kuping dikasih tuhan buat apa kalau bukan dengerin maknya ngomong?"
"Maafin Marcell ma, kenapa?"
"Gandeng Lili bentar dong, mama mau bikinin susu dulu sekalian motongin buah."
Marcell terdiam kaku mendengar permintaan tolong dari Liona, jantungnya berdebar kencang dengan diiringi langkah kaki yang justru mundur menjauh seperti menghindari sesuatu.
"Marcell, kamu masih takut soal kejadian waktu itu?" tanya Liona saat melihat respon Marcell yang masih sama. "itu bukan salah kamu, percaya sama mama."

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Fiksi RemajaAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...