Semesta memang suka bercanda.
Luka kadang didatangkan tanpa perlu penjelasan, sakit pun kadang diperlihatkan tanpa perlu diumbar.-L
Deru motor merah itu menarik perhatian beberapa orang yang dilewatinya. Ada yang mengiringinya dengan tatapan, hembusan nafas, atau bisik bisik tak menentu. Pasalnya di atas motor itu bukan gadis itu lagi, ada gadis lain yang menaiki. Melingkarkan kedua tangan di pinggang seorang bermuka datar yang fokus menatap jalanan.
Beberapa orang sempat melirik ke arah seorang gadis yang menatap nanar pemandangan itu. Ia merapatkan jaketnya dan kembali melangkah menuju gerbang. Mencoba melupakan kejadian nyata yang terlalu sulit bila hanya untuk di bayangkan.
Saat hatinya mulai mencoba menaruh hati. Berlari dari titik terendah untuk mencoba mencari kenyamanan lain. Fase jatuh kembali hadir, menutup segala kemungkinan untuk segera bahagia dan lari dari kenangan. Benar kata semesta, berani jatuh cinta juga harus berani sakit hati. Mungkin kisah cintanya tidak bisa semulus orang biasanya. Tapi ia yakin, ada banyak cinta yang lebih terbuang sia-sia dan tersakiti dengan percuma di luar sana. Intinya, kisah hidup orang lain banyak yang lebih berat. Dia belum apa-apanya.
Gadis itu menghembuskan nafas, menyisir rambut pirangnya ke belakang karena helaian helaian itu sempat menutupi matanya tadi. Menambah hawa panas yang entah sejak kapan seakan mendesak untuk dikeluarkan. Tidak boleh, kembali kepada fakta, dia bukan siapa siapanya. Dan tentunya, cowok itu berhak memilih. Menganggapnya wanita atau teman biasa.
Lauren menoleh lagi saat suara deru motor kembali terdengar. Itu Marcell, dengan motor hitamnya yang hampir serupa dengan milik Gazza berderu pelan melewati tempatnya berdiri. Tanpa sapaan atau lirikan sedetik pun, kaca helm itu tertutup rapat. Hanya menyisakan suara bising yang semakin memelan seiring dengan bayangan motor itu yang telah menghilang di balik pagar sekolah.
Siang ini seharusnya Lauren tidak jalan. Siang ini seharusnya ia tidak naik taxi atau angkot. Siang ini seharusnya dia tidak berjalan ke arah gerbang sendirian. Siang seharusnya ia pulang bersama Gazza. Siang ini seharusnya Gazza tidak mengajak adik kelas itu pulang bareng. Dan semuanya hilang saat kata seharusnya juga hilang.
"Milea lagi nunggu angkot ya? mau pulang bareng Dilan?"
Lauren terkekeh, Arsen yang sedang duduk di motornya sambil membonceng Seva pun tersenyum dengan menampilkan deretan giginya yang rapi. Seva memberikan gadis itu coklat yang dia pegang. Tersenyum manis sebelum menepuk pundak Arsen untuk menyuruhnya segera pulang. Dia lapar.
"Semoga mood lo balik."
Lauren tersenyum dan mengangguk, "Makasih, pulang! jangan kencan mulu."
Seva mengacungkan jari tengahnya pada Lauren yang kini sedang tertawa. Berbeda dengan Arsen, cowok itu sedang senang-senangnya sekarang. Pasalnya penantian panjang selama ini akhirnya mendapat respon bagus dari Seva. Meski gadis itu terkadang masih sering jengkel karena sifat Arsen yang tidak pernah waras, tapi ia selalu menghadirkan tawa yang tulus adanya.
Tes.
Hujan kembali jatuh.
Lauren menengadah, pipinya dijatuhi buliran bening yang turun dari langit. Bulan ini musim penghujan, wajar saja jika ribuan air itu kadang bisa turun kapan saja. Entah hanya singgah atau menetap, datang dan perginya tak pernah terprediksi. Ini alasan Lauren suka hujan, melalui hujan dia belajar bahwa tidak segalanya dapat abadi menemani. Karena yang nyata pun kadang tak selamanya ada. Apalagi untuk segala hal yang belum pasti, semua bisa pergi dan meninggalkan kita dalam kesendirian. Sepi.
"Mau ojek payung ke cafe depan, Neng?"
Lauren menimang nimang, daripada ia menunggu di depan sini sendirian dalam dingin, sepertinya kesana lebih baik. Menunggu sisa tetes hujan di atas genangan air yang basah dengan secangkir kopi atau minuman hangat. Sepertinya lebih tepat daripada harus berdiri di teras pos satpam seperti ini.
"Boleh deh pak,"

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Teen FictionAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...