Lo ada, lo fakta, tapi lo terlalu maya untuk disebut nyata.
-M
Cowok bermata hijau yang saat ini sedang duduk di pojok kantin bersama kedua temannya itu memainkan kaleng minuman dingin yang ia beli dengan pandangan kosong. Ia memutar perlahan benda itu seolah ingin menggoyangkan isinya. Kaleng ini dingin namun melegakan, tidak seperti hatinya.
Pikiran cowok itu sedang melompat jauh pada sesuatu yang ingin ia yakini. Secuil memori singkat yang pernah terjadi tiba-tiba muncul mengusik pikirannya. Setiap kata-kata yang ia ucap, setiap perbuatan yang ia ciptakan terkesan ganjal dilakukan oleh seseorang yang tidak pernah peduli sepertinya.
Ia mungkin tau bahwa ada sesuatu yang berbeda, tapi sepenggal hatinya yang lain mengatakan bahwa itu hanya keadaan sementara. Hal yang disebut orang lain sebagai bentuk kepedulian, masih ia anggap sebagai hal wajar. Bisa jadi itu hanya naluri kemanusiaannya yang sedang ingin muncul untuk membantu gadis itu. Membantu gadis itu untuk menemukan bahagianya bersama orang yang pantas. Bukan sepertinya dirinya yang masih ragu.
Mata hijau yang awalnya menatap lurus bintik air di luar kaleng menoleh perlahan ke arah Arsen. Cowok itu terlihat sedang ikut mengamati objek yang sama, bintik air yang sebenarnya tidak menjadi fokus utama Marcell sejak tadi.
"Lo ngapain?" tanya Marcell menempelkan kaleng tadi tepat di dahi Arsen yang memang hanya berjarak beberapa senti.
"Aduh!"
"Sukurin." saut Rian tertawa terbahak ketika Arsen memegangi dahinya yang basah karena terkena tetesan air dari kaleng minuman milik Marcell.
"Sakit tau, tega banget lo sama cowok ganteng."
"Lo ngapain?"
"Ya lo sih aneh, dari tadi lo lihatinnya bintik air, walaupun lo pelototin tuh air, nggak bakal ada yang bentuknya seksi."
"Yang ada bentuknya gimana, Sen?" tanya Rian membuat cowok itu terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Melembung, kayak roti kebanyakan baking soda."
"Bege!" Marcell melemparkan kaleng tersebut ke tempat sampah yang tidak jauh dari sana sambil menggeleng heran dengan tingkah laku Arsen.
"Gazza mana?"
"Masih perang."
"Anjir, gue tanyanya Gazza pacar gue." ucap Arsen membuat Rian ber'oh' ria sambil menggerakkan ujung jari telunjuknya ke arah bangku kantin dekat gerobak nasi goreng.
Marcell yang memang awalnya tidak peduli dengan mereka berdua akhirnya mengikuti arah pandang yang ditunjukkan Rian. Disana ia bisa melihat Gazza dan Lauren sedang duduk berhadapan sambil menikmati pesanan mereka dalam diam. Sedetik kemudian, cowok dingin di ujung sana terlihat berbicara sesuatu sebelum tangannya bergerak membersihkan butir nasi di sudut bibir Lauren.
Marcell mencelos, pandangannya spontan beralih ke arah lain saat melihat gadis itu terkekeh dengan tatapan tertuju ke arah Gazza. Saat mata hijaunya berniat kembali melihat, waktunya justru semakin tidak tepat. Lauren mendekatkan kursi dan mengecek sesuatu pada lengan Gazza membuat cowok itu mengacak gemas rambut pirang yang hari ini memang tergerai indah.
Cowok itu menunduk, mencoba mencari sesuatu di bawah sana yang harusnya lebih menarik. Dia bingung dengan apa yang dirasakan hatinya, ada sesuatu yang berdenyut, antara senang atau justru sebaliknya, sakit. Bukankah ini yang ia harapkan? memberikan bahagia yang tidak pernah bisa ia berikan?
Marcell bukannya menyerah, tapi memang dari awal ia tidak sadar bahwa dirinya telah turut andil untuk memperjuangkan. Ia bukannya putus asa, tapi egonya memang memilih untuk tidak berlanjut karena ragu yang terus mengikis karang keyakinannya. Ia hanya takut, abu-abu itu akan berubah menjadi warna merah, darah.

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Teen FictionAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...