#35 Dia pergi

5.3K 465 50
                                    

Ada sebaris luka yang menghujam,
seiring dengan kedua mata yang memilih pejam.

Ada sederet luka yang memilih datang, seiring dengan raga yang memutuskan hilang.

Semoga, tuhan berbaik hati dengan mengirimmu kembali.

-M

Sayup sayup cowok itu mulai mendengar ketukan di pintu kamarnya yang sejak tadi bagaikan alarm. Ia membuka matanya perlahan dan menyipit saat cahaya bulan di luar sana menyala terang. Udah malam? kok cepet. Ketukan itu terdengar lagi, membuatnya menoleh malas dan menghembuskan nafas.

Kepalanya sedikit berat saat cowok itu memilih bangkit dari posisi tidurnya. Ia meringis menahan denyut nyeri dari luka yang masih belum kering. Langkahnya perlahan berjalan mendekati pintu dan membuka daun pintu bewarna hitam itu dengan muka ngantuk.

"Gazza!"

Gazza menyipit mengondisikan cahaya terang diluar kamar, "Marcell?"

"Bilang sama gue, jam 7 lo mau ngapain?"

Cowok itu terdiam untuk sesaat, ia menoleh menatap jam yang tergantung di dinding kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, artinya tiga puluh menit lagi perangnya akan dimulai. Gazza menoleh lagi pada Marcell yang menatapnya tajam. Mengangkat bahu dan menguap sekali lagi.

"Gue mau tidur, udah pulang sana."

"Jangan bohong!"

"Ngapain sih? gue ngantuk, jangan ganggu deh."

Marcell terlihat menghembuskan nafas dan memijit keningnya. Ia pusing, sejak dari sekolah tadi pikirannya belum juga tenang. Ia mengira Gazza lupa, apalagi pesan singkat itu belum sampai kepada pemiliknya. Mungkin benar, Gazza tidak akan pergi malam ini. Itu membuatnya lega, setidaknya sedikit lega.

"Malah bengong, udah sana!"

"Iya!"

"Santai,"

Gazza menepuk pundak Marcell sekilas sebelum menutup pintu kamarnya. Cowok itu menghembuskan nafas berat. Langkahnya berjalan menuju kamar mandi dan mulai bersiap untuk pergi malam ini. Keluar dari sana, Gazza berdiri dalam diam di depan cermin.

Matanya menatap pantulan diri yang memang terlihat buruk. Luka disana sini, matanya berkantung karena beberapa hari susah tidur, serta rambut yang acak-acakan dirasanya jauh dari kriteria cowok baik-baik. Ya, benar, dia tidak munafik untuk mengakui itu. Cowok yang telah menyakiti hati perempuan memang tidak pernah pantas disebut cowok baik-baik. Dia jauh.

"Semoga, kalian baik."

Gazza menarik sudut bibirnya sebelum bergerak memakai kaus hitam polos dan celana panjang. Malam ini, ia tidak menata rambutnya lagi. Pergi hanya dengan jaket hitam dan sepatu, sengaja tidak membawa ponsel ataupun dompet. Ah, ponselnya mana? ya sudahlah, tidak penting juga.

Ia diam, menatap kedua ujung sepatunya saat semua tali disana telah terikat asal. Cowok itu menghembuskan nafas berat sekali lagi. Menjadi sosok yang dibenci tidaklah mudah. Apalagi harus dibenci oleh orang yang dia sayang serta sahabat yang telah dianggapnya saudara. Gazza bangkit, waktunya menyalahkan diri sendiri telah habis. Kini saatnya ia membuktikan bahwa ada alasan dibalik sikapnya yang dianggap layaknya sampah. Dia punya alasan. Dan tidak butuh semua orang tau hanya untuk mengasihaninya.

Cowok itu keluar kamar, menuruni tangga dengan mulut tertutup rapat. Ia bergerak menyambar air minum yang akan diminum Caca serta mengambil kunci motor yang tergeletak diatas nakas. Gazza menyerahkan gelas kosong itu pada Caca dengan ekspresi datar, membuat siapapun yang berada di posisi Caca pasti ingin sekali menyumpal mulut adiknya.

SELEZIONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang