Dia ternyata lebih
memilih untuk dibenci,
daripada dianggap pecundang
dengan tidak melakukan apa-apa.-M
Malam ini dingin, ya?
Iya, itu jelas. Selain hujan barusan mengguyur kota untuk menghapus lara. Ada pisau dimensi lain yang sempat membuatnya harus kembali menggoreskan luka. Selain itu, faktanya, luka biru dan darah kering itu memang masih terlihat jelas. Membuat wajahnya semakin terkesan sangar dan menyedihkan.
Berkelahi bukan lagi suatu hal yang awam dalam kehidupan cowok itu. Tapi kali ini, entah apa, luka dari tonjokan Marcell terasa lebih menyakitkan dibanding saat ia harus dipukuli habis-habisan oleh anak buah lelaki itu. Sakit memang, saat melihat sorot mata peduli harus berubah tajam dan menusuk. Belati yang sebelumnya tak pernah keluar, harus terpaksa diacungkan tepat di atas kepala. Bendera perang telah Marcell kibarkan.
Gazza berjalan pelan memasuki rumah. Perlahan ia membuka pintu, lampu ruang tengah masih menyala. Cowok itu duduk dan melempar asal jaket hitamnya ke lantai. Disandarkannya punggung yang masih terdapat bekas pukulan benda tumpul itu di sandaran sofa. Ia menghembuskan nafas, matanya menatap lurus layar TV, dan akhirnya meringis sekali lagi saat luka itu tiba-tiba berdenyut nyeri.
Ia menoleh ke arah nakas di samping sofa. Di atas sana ada cermin milik Caca yang tergeletak asal. Diambilnya benda itu untuk berkaca. Gazza mendengus miris, wajahnya buruk. Luka ada disana-sini. Memar biru pun seakan mendominasi setiap sudut wajahnya. Sebenarnya Marcell tidak melukainya separah ini, hanya saja ada orang lain yang sebelum pulang tadi membuatnya menambah stok tato alami. Membuat malamnya semakin dingin dan miris.
"Gazza?"
Ia menoleh dan menatap datar kakaknya yang barusan menuruni tangga. Gazza memperhatikan Caca, gadis itu turun hanya dengan menggunakan celana pendek dan baju tanpa lengan. Padahal diluar dingin, pikir Gazza. Cowok itu bangkit, menyambar asal jaketnya dan berjalan mendekati Caca.
Tanpa mengucapkan apa-apa, tanpa peduli dengan pandangan Caca yang mengernyit bingung saat melihat rupa buruk adiknya malam ini, Gazza menyampirkan jaket itu di pundak kakaknya. Ia menutupi lengan Caca yang terekspos dan berjalan kembali untuk duduk di sofa ruang tengah. Sepertinya ia masih enggan kembali ke kamar. Malamnya masih terlalu dingin untuk sekedar beristirahat. Ia masih ingin menikmati dinginnya, dan semua rasa yang mendominasi, termasuk luka yang menyakitkan.
"Udara lagi dingin."
"Lo berantem lagi?" Caca mendekat, ia meletakkan ponselnya di atas meja dan berjalan mendekati Gazza sambil membawa kotak obat.
Cowok itu menyingkir, ia menepis lembut tangan Caca yang baru saja hendak menyentuh sudut bibirnya. Ia memeluk kakaknya tiba-tiba, berdiam di dalam pundak seseorang adalah sesuatu yang sedang ia cari saat ini. Cowok itu memejamkan mata, mengeratkan pelukannya di pinggang Caca sambil berusaha menetralkan emosi. Ada sesuatu yang tidak bisa diungkap. Ada resah yang sulit diurai. Ada pula sakit yang tak mungkin diungkit.
Ia butuh pundak.
Caca diam, perlahan tangannya bergerak meletakkan kotak obat itu dan beralih menepuk nepuk punggung Gazza. Cowok itu mengerang, membuat Caca kaget dan khawatir. Gazza yang berniat untuk segera pergi ditarik paksa oleh kakanya untuk kembali duduk. Tidak bisa dibiarkan lagi, Caca bangkit dan menyibak kaus adiknya hingga menampilkan memar biru yang melebar di sekujur punggung.
Gadis itu meringis ikut menahan sakit, Gazza pasrah, toh kakaknya sudah melihat. Caca menghembuskan nafas berat sambil memutar malas bola matanya. Ia tidak mengerti kenapa Gazza selalu gemar menyakiti diri sendiri. Bukankah ini sakit? lalu kenapa ia masih saja bertahan pada hal sakit yang sebenarnya tidak membuat ia nyaman?
![](https://img.wattpad.com/cover/131587139-288-k42868.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Roman pour AdolescentsAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...