Seandainya saja.
Seandainya langkah ingin diputar balik, mungkin semua juga percuma.
Aku dan dia hanya berada di persimpangan beda arah.
Jadi, meski aku berbalik untuk menyamai arahnya, aku tetap tidak bisa menyusul langkah.
Dia terlalu jauh di depan, enggan berbalik meski hanya untuk melirik.Bila dikatakan lupa, pasti susah lah ya. Apalagi jika dia orang yang pernah membuatmu lupa akan goresan yang disebut luka. Lalu, harus apakah kita? menunggunya berbalik atau kita saja yang melangkah perlahan untuk menjauh?
Mungkin itu yang terbaik, mengambil langkah mundur dari jarak ini. Mengikis temu agar tak lagi tercipta rindu. Jika suatu saat dia menemukan cahayanya di ujung sana, haruskah aku tersenyum dan mengucapkan selamat? Munafik ya, aku bersikap seolah bahagia disaat perasaanku bahkan masih menuju ke arah satu nama. Dia, orang istimewa yang tak lagi sama.
Perlu kamu tau, selama ini aku memalsukan kematian perasaanku. Tergopoh menghilangkannya dari peradaban, mencoba mencari sesuatu yang baru hanya sekedar untuk menutup pilu. Tapi semua tak ada guna, saat aku berusaha lari mencari tempat perlindungan lain. Lilin redup di sudut hatiku justru terus menawarkan kehangatan.
Dia masih menyala, meski terlihat semu dan tak seterang biasanya. Dia dekat, tapi sangat jauh. Dia ada, tapi terlalu mustahil untuk kusebut nyata. Dia masih hidup, tapi terasa mati. Karena yang tersisa hanya sakit, sesal, dan kenangan. Segala sesuatu yang tak akan bisa kembali terulang seperti dulu. Hanya bisa ditutup, dihapus, kemudian dihilangkan. Lenyap.
Bila ditanya rela, aku rela. Telah kulepas dan kubiarkan begitu saja dia bahagia. Dia memang senjaku, tapi dia juga senja semua orang. Dia istimewa untukku, tapi mungkin juga bisa jadi istimewa buat orang lain. Dia membuatku jatuh, jatuh pada pesonanya yang mungkin juga membuat orang lain jatuh.
Bila dia memang menemukan orang baru, aku yang akan paling bahagia. Karena aku yakin dia hebat, dia akan baik-baik saja lalu bangkit dan menemukan yang lebih baik. Semesta sendiri yang bilang padaku, aku terlalu egois dengan melepasnya begitu saja. Karena tanpa kusadari, aku sedang memberi peluang orang lain untuk merasakan bagaimana dijadikan istimewa oleh dia, orang yang masih berada di titik sama di kehidupanku.
Dia sempat bilang bahwa ia cinta senja. Ternyata benar, dari senja aku mendapat cerita beda. Dia indah, sangat indah. Tapi sayang, hadirnya hanya untuk menyapa, membuat terpana, lalu hilang dengan membawa rasa. Namun saat kita mulai lupa dengan warna jingganya, dia kembali datang setiap sore. Menawarkan tenang lalu menghadirkan hening setelahnya.
Sendirian, sepi dan sunyi. Ini yang tidak aku sukai dari malam. Dia mengambil segala terang, mengambil beberapa berkas cahaya dan menyimpannya hingga pagi tiba. Meniupkan dingin yang ternyata begitu pekat, membawa rindu untuk mengikat segala ingatan dalam memori masa lalu.
Oh astaga!
Hujan!
Hujan lagi,
Aku bahagia sebenarnya, tapi lagi-lagi hujan kali ini membawa cerita yang sedikit membuat ulu hati terasa mati. Dingin, malam ini sungguh dingin. Apalagi saat kenyataan membuatku sadar bahwa senjaku telah, kamu telah pergi. Digantikan malam dan hujan kemudian.
Tidakkah kamu ingin menyukai hujan sepertiku? jika suatu saat kamu berminat, cobalah main main lagi ke hatiku. Disana sedang dilanda hujan badai berkepanjangan. Tapi aku jamin, setelah kamu datang, aku akan menjanjikan pelangi untuk ikut datang. Bukan lagi hujan, tapi segala sesuatu yang indah namun hadir hanya sementara, seperti pelangi dan senja. Seperti kesukaanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Fiksi RemajaAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...