Diam adalah caraku
mengungkap yang
paling aman.-M -G
Hari ini bukan hari senin, tapi hari besar. Jadi, meski tidak ada upacara bendera tapi tetap ada apel pagi. Seragam harus rapi, sepatu hitam, kaus kaki tidak boleh pendek, potongan rambut rapi, atribut lengkap. Beberapa hal itu yang biasanya diributkan oleh guru pecinta kedisiplinan. Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, kedisiplinan adalah nomor satu bagi kepala sekolah baru.
Selain penampilan diatur, barisan pun juga tak luput dari aturan tata tertib. Siswa tinggi di depan, dengan laki-laki berada pada barisan paling belakang. Tidak boleh bicara, tidak boleh ribut, tidak boleh membuat gerakan yang terlalu menonjol. Semua harus diam, tertib, dan mengikuti upacara dengan khidmat.
"Panas banget!"
"Nikmatin aja, cahaya matahari pagi baik buat kesehatan. Biar tulang lo kuat, nggak gampang rapuh kayak hati." bisik Seva pada Lauren yang sudah beberapa kali mengusap keringat.
Cuaca di Jakarta memang susah diprediksi, seperti doi. Kadang dia mendung, panas, dan tiba-tiba hujan. Seperti sekarang, baru juga jam menunjukkan pukul 07.00, tapi matahari sudah seperti di atas kepala. Silau dan panas. Lebih mending panas lihat doi jalan sama cewek daripada harus panas kayak gini. Bikin keringetan, pusing, dan belang seketika. Nggak enak.
"Ren diem dong, gerak mulu perasaan!"
"Panas anjir, lo coba deh di sini."
"Sama aja."
"Sama aja pantatlu, lo masih enak ketutupan pohon, lah gue? matahari nyentrong mata banget."
Cowok di belakang Lauren memutar bola mata kesal dan kembali menunduk untuk menghalau sinar matahari. Amanat di depan sudah tidak lagi mereka hiraukan. Jangankan mengerti apa yang sedang dibahas, mendengarkan saja tidak. Karena saat ini yang ada di kepala mereka hanya bagaimana cara mempercepat waktu agar kegiatan itu cepat selesai.
"Ngomong panjang amat, nggak haus apa!"
"Kalian berdua kenapa sewot banget sih?" tanya Seva membuat Nadia menoleh.
"Pegel kaki gue, berasa lagi latihan di Akmil."
Setelah melewati beberapa rangkaian acara yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan, akhirnya upacara selesai. Seluruh siswa menghela nafas lega dan segera berbondong pergi menuju kelas masing-masing. Tidak juga, bahkan masih banyak yang memilih ke kantin dulu baru ke kelas. Tenggorokan rasanya kering kayak di sabana.
"Akhirnyaaa."
Lauren melepas topi dan meletakkan kepala di atas salah satu meja kantin. Ia menoleh pada teman-temannya yang juga melakukan hal sama. Gadis itu mendengus, kemudian menggebrak meja hingga membuat ketiga orang itu mengumpat pelan.
"Kuping gue!"
"Setan ya lo!"
Lauren yang awalnya tertawa berhenti seketika saat melihat Meika melotot kesal. Bahaya jika gadis itu marah, maka sebagai gantinya Lauren memilih bangkit dan memesankan minum untuk ketiga temannya. Ia ikut mengantri di depan warung Bu Ami. Disana segala minuman tersedia, baik botol, kotak, cup, atau racik. Semuanya ada, tinggal pilih.
"Jus semangka tiga, melonnya satu."
Bu Ami mengangguk lalu menoleh ke arah pembeli lain yang sedang berdiri di samping Lauren.
"Jeruk 2."
Jantung Lauren hampir saja copot dari tempatnya. Ia tidak berani menoleh, suara khas dengan bau maskulin yang mulai menguar membuat Lauren yakin sepenuhnya bahwa orang itu Marcell. Mantan pacar sekaligus orang yang masih berusaha ia hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Teen FictionAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...