Ketika segalanya telah terkumpul pada titik lelah, kemunafikan datang hanya untuk memaksa agar menjauhi kata menyerah.
Tatap itu tak lagi mampu menusuk kata. Kelopaknya terpejam rapat, menolak untuk sekedar dilirik walau sekilas. Ia bilang dia lelah, ingin istirahat.
Baiklah, istirahatlah.
Tumpahkan segala hal yang membuatmu ketakutan. Yang membuatmu kesakitan. Curhatkan semuanya pada bayangan hitam yang mungkin sedang menemanimu di lain tempat, jauh tak terjangkau, sebuah latar yang bahkan tak mampu juga kupijaki.Namun bila aku boleh meminta, tolong jangan pergi dan membuatku berteman dengan sepi. Jangan buat aku sendirian dalam sesal dan renung malam.
Iya, kamu bukanlah senja.
Kamu bukan sosok yang manis dan selalu memberikan cahaya terang memabukkan. Kamu hanya kamu, seperti hujan, menurutku. Tapi seperti kabut, menurutmu.Kamu ada, namun kadang tak dianggap ada. Kamu hadir, namun kadang diharapkan pergi lalu diusir. Kamu nyata, tapi bersikap seolah kamu datang dari dimensi maya. Hingga kadang aku sulit melihatmu, sulit mengartikan keping-keping artian tatapan yang berantakan. Kamu terlalu jauh untuk disentuh, kamu terlalu dekat untuk dilihat.
Ibaratkan kabut yang kau sematkan pada sosokmu, kamu menutupi segala tentang siapa dirimu. Kamu menyembunyikan keindahan lainnya dengan dinginnya hawa. Kamu datang memberi rintihan pada semua orang. Lalu kamu pergi membawa tangis mereka pula. Maumu apa?
"Mama, bajuku basah."
"Kena kabut ya, kebiasaan kalau pagi emang gini. Hujan sama kabut sama aja, cuman beda bentuk."
Lihat? semua orang selalu menyamakanmu dengan hujan. Tapi faktanya kamu beda, dari sudut yang beda pula. Aku menamaimu hujan, karena aku tau ada banyak hal yang ingin kamu beri dibalik jatuhmu. Kamu ingin memberikan sesuatu dengan caramu sendiri. Dengan hal yang kadang tidak diingini. Banyak yang berdecak kesal saat lagi lagi kamu membanjiri ibu kota.
"Hujan lagi hujan lagi."
Mereka tidak menyukai caramu berkorban. Mereka enggan mengerti bagaimana caramu membahagiakan. Karena kamu memang tidak pandai dalam hal tunjuk menunjukkan. Kamu hanya ingin melakukan sesuatu yang kau anggap berguna. Tapi tidak bisakah kau melihat keadaanmu, sudah baikkah kamu? Sehatkah kamu melakukan itu?
Ini yang kubenci, kamu rela jatuh tanpa pernah mengerti bagaimana sulitnya bangkit. Kamu terlalu betah tinggal di lorong sempit di bawah tebing curam dan gelap. Kamu tenang dalam sepi. Bagimu, dikasihani lebih buruk daripada dibenci orang yang sedang kau kasihi. Karena bagimu, kasihi berbeda jauh dari kasihani. Namun bisakah kamu kembali melihat apa yang kau perbuat?
Tanpa menjelaskan sekeping bagian kronologi, kamu justru memilih pergi. Tanpa mengucap penjelasan dalam tatap, kau enggan untuk kembali menetap. Tanpa bercuap tentang tujuan, kamu pergi begitu saja membekaskan kenangan. Jika memang aku alasanmu pergi, bisakah juga, apabila aku meminta, kamu akan kembali?
Kembalilah,
Kembalilah untukku dan yang lain.
Kembalilah untuk memberiku kesempatan mengucapkan penyesalan.
Maaf,
Maaf untuk keseribu luka yang tanpa sengaja memang kuukir diam-diam.
Dan kesekian kali, dengan caraku sendiri, aku ingin kau kembali. Disini. Ditempat dimana kita bisa saling mengumbar tawa.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Novela JuvenilAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...