Kamu harusnya sadar
bahwa barang yang sudah dibuang, terkadang tidak layak dipungut lagi.-M
Malam ini hujan kembali datang. Mengguyur semua tempat di bawahnya hingga basah. Langit tanpa bintang itu kini terlihat kelam, dengan sesekali menyemburkan petir dan suara bergemuruh yang sahut menyahut. Bulan diusir, bersama bintang dan pemandangan malam lain yang biasanya indah. Diganti dengan tetes tetes anugerah Tuhan yang disertai angin, dingin.
Begitu juga hatinya, ada sesuatu yang membuat perasaannya menggigil dingin. Ingin benci namun rasa cinta ternyata lebih mendominasi. Padahal logikanya tau bahwa hati tak lagi mampu dipaksa untuk terus berusaha. Logika menentang keras sandiwara hati. Ia berteriak marah, mengumpat pada hati yang sudah tau lelah tapi tetap tak mengalah. Bagian rapuh itu masih setia berjalan terseok-seok mengejar seseorang. Orang yang ternyata juga mengejarnya namun dalam simpang arah yang berbeda. Jadi mana mungkin bisa bertemu? sia-sia kan?
Perkataan Marcell tadi siang masih terngiang jelas di telinga Lauren. Ia tidak menyangka kalimat itu meluncur begitu licin dari mulut seseorang yang dulu selalu bisa membuatnya tersenyum. Mengingat itu ingin sekali Lauren menumpahkan coklat panas yang saat ini berada di hadapannya. Daritadi gadis itu bahkan membayangkan bagaimana respon Marcell saat minuman yang masih mengepul itu harus mengenai wajahnya. Argh.
Ia melirik arlojinya sekali lagi sebelum kembali memandang luar jendela. Menatap rintik air hujan yang turun perlahan hingga membuat kaca besar di sampingnya tertutup embun. Lauren menggerakkan tangan, menarikan jemarinya diatas kaca tembus pandang yang terasa dingin. Disana ia menulis sesuatu kemudian menghapusnya, membuat tangan itu terasa sedikit basah.
Lauren menoleh ke arah pintu masuk saat lonceng disana berbunyi. Orang yang dia tunggu sedari tadi belum juga datang. Gadis itu menghembuskan nafas, kembali melirik laptopnya sambil menyesap coklat panas yang bahkan sudah hilang setengah. Lonceng kembali berbunyi, Lauren yang masih minum hampir tersedak saat melihat seseorang yang sangat ia kenal. Itu Marcell, mantannya.
Gadis itu cepat-cepat meletakkan cangkir dan menyambar buku apa saja untuk menutupi dirinya. Bukan suatu hal sulit jika mengetahui Lauren, apalagi dengan rambut pirang yang begitu mencolok. Gadis itu menggerutu dalam hati, menyumpahi pemilik cafe yang dengan seenak jidat menerima semua pelanggan. Lagian kenapa harus ketemu sama Marcell sih? dunia sempit banget.
"Dia udah pergi belum ya?"
Gadis itu perlahan menurunkan buku yang tadi menutupi wajahnya hingga berhenti saat matanya bisa mengintip kesana kemari. Ia menghembuskan nafas berat saat cowok itu duduk di kursi antrian cafe sambil memainkan ponsel. Ingin sekali rasanya Lauren pulang, namun ke arah pintu cafe juga harus melewati Marcell, jadi nggak mungkin. Iris hijau keabuan itu berhenti berkedip saat melihat orang yang ia kenal masuk ke dalam cafe lalu menghampiri Marcell.
Gadis itu membersihkan air yang ada di tangannya dengan wajah datar, sepertinya ia tadi kehujanan. Entah kenapa, terbersit rasa aneh saat melihat Marcell bangkit mengambil tisu dan membantu gadis itu untuk mengeringkan badannya. Cowok itu melepas jaket dan menangkupkan benda tersebut ke bahu Meika yang memang sedang menggunakan baju lengan pendek.
Lauren mencelos, lagian dia juga sudah putus. Tidak ada salahnya kan kalau sekarang Marcell dekat dengan siapapun termasuk sahabatnya sendiri? memangnya dia punya hak untuk ikut campur? Gadis itu menurunkan buku saat kedua orang tadi sudah keluar dari sana. Berjalan menembus hujan dan tenggelam dalam gelapnya malam. Mereka kesini barengan?
Lonceng cafe berbunyi, Lauren tidak peduli lagi soal itu. Ia menopang kepalanya dengan tangan sambil mengaduk-aduk minumannya hingga membentuk sebuah pusaran. Niatnya menunggu siapa, yang datang malah siapa. Sepertinya hari ini moodnya benar-benar sedang diuji.

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Ficțiune adolescențiAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...