Bagaimana jika aku kembali salah menjatuhkan hati?
-L
Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan. Antara menunggu yang telah tiada atau menyerahkan hati pada seseorang yang belum pasti, apa yang menjadi pilihanmu? Haruskah kita tetap berhenti di persimpangan. Terdiam linglung dengan perasaan tak menentu.
Disitulah aku berdiri sekarang. Menatap dua penghujung jalan yang sama sama tertutup kabut tebal. Buram, semua yang tersisa hanya tinggal perasaan dan kemauanku untuk beranjak perlahan. Meniti langkah, membuang pedih yang masih terus datang tanpa pamrih.
Mungkin memang ini yang terbaik, akan kusimpan saja dia di dalam sana bersama tumpukan masa lalu yang berakhir pilu. Dia memang istimewa, tidak pantas diletakkan pada kotak kenangan yang penuh debu dan luka. Tapi apa boleh buat, memperjuangkan pun kita tak lagi punya hak. Apalagi melarang pergi, kita siapa? hanya secarik memori yang sudah sepantasnya ditinggal pergi.
Jangan pernah salahkan dia. Coba saja intropeksi diri, apakah kita memang sudah pantas mendampingi orang yang bahkan diharapkan oleh orang lain yang lebih sempurna? Coba kembali berkaca, apakah kita cocok mendampingi langkah sang tokoh utama yang sedang kesepian? Hei, tau diri itu perlu.
Terkadang tidak perlu membuat kita semakin sakit dengan cara menyalahkannya. Mungkin dia pergi karena kita yang membuatnya pergi. Mungkin dia pamit karena kita yang membuatnya pamit. Mungkin dia memilih yang lain karena kita tak mampu sepengertian yang lain. Semua pasti ada hubungan sebab akibatnya, bulan saja memilih pergi saat mendung memenuhi angkasa. Lalu, masih pantaskah kita menumpahkan segala salah pada mereka yang telah pergi?
Semua sudah berlalu.
Maka, aku lelah bila terus menerus berperang dengan masa lalu. Ini waktunya berdamai, perang dingin itu kuputuskan sudah usai. Hari ini juga. Detik ini, perasaanku telah kuanggap selesai. Cukup sampai disini kita mencoba untuk menjadi asing. Maka selanjutnya, mari benar-benar menjadi asing. Seolah semua kenangan itu memang tidak pernah dimulai. Dari arah manapun.
Bukan lupa, aku hanya ingin semuanya berakhir sudah. Lelah sendirian, sakit sendirian, cemburu sendirian, menunggu sendirian. Semua ingin ku akhiri. Karena memang pada dasarnya hal diatas bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Mereka membuat bosan, layaknya menunggu kereta api yang datang tanpa rel. Lama, bahkan tidak mungkin.
Terimakasih telah pergi, berkat jarak yang kau buat itu, hatiku kembali terlatih patah. Terimakasih telah menjauh, berkat rindu yang kau ciptakan itu, hatiku kembali terlatih bagaimana caranya bertahan sendirian. Dan kini, aku akan turuti apa yang pernah kamu katakan. Menjauh, untuk tidak membuatku risih. Lalu, menjatuhkan hati pada orang yang selama ini kau anggap pantas. Akan kulakukan.
Aku akan mencoba untuk tidak lagi menolehkan kepala menatap bayanganmu. Aku akan memilih jalan ini, menaruh hati pada orang yang belum pasti. Mungkin bila nanti aku kembali patah, hatiku akan terbiasa menerimanya. Sebab, penghuni lama telah memberi pelajaran bahwa bahagia akan selalu datang bersama luka. Entah kapan, yang pasti waktu itu akan datang.
Sampai jumpa!
***
"HP diliatin mulu, emang ada yang chat?"
Lauren berdecih, ia berguling di atas kasur hingga membuat tubuhnya tergelung selimut. Gadis itu menatap Nadia yang sedang mematut diri di depan cermin. Gadis itu sudah sejak beberapa jam yang lalu ada di rumah Lauren. Awalnya ingin meminjam laptop, tapi sekarang justru beralih berkutat dengan masker wajah. Ia mengucir rambutnya tinggi tinggi, berbalik dan duduk di sebelah Lauren yang sedang rebahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Teen FictionAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...