Selama lo bahagia.
Gue akan berusaha ikut bahagia.
Walaupun bahagia lo,
bukan di gue.Maaf juga bila masih
menjadikanmu penghuni tetap
yang enggan kuusir pergi.-G
Hari ini bukan malam minggu, karena besok masih sekolah. Tapi gadis itu sudah sibuk mematut diri di depan cermin. Empat kali ini dia mengganti baju dan akhirnya kembali ke pilihan awal. Sebenarnya buang-buang waktu, 10 menitnya terbuang sia-sia hanya untuk mencoba beberapa baju lalu akhirnya juga akan memilih baju yang dicoba paling awal, yang tadi dirasa belum cocok. Ribet.
Bukunya ia biarkan berantakan di atas meja belajar. Besok tidak ada tugas, lagian jika ada tugas Lauren pasti akan memilih mengerjakan di sekolah. Karena menurutnya, itu tugas sekolah, bukan tugas rumah, beda. Kalau tugas rumah, nyapu, nyuci baju, nyuci piring, bersihin kamar, itu baru tugas rumah. Iyain aja biar cepet.
Gadis itu keluar dari kamar setelah menyambar tas slempang hitamnya yang tadi ia ambil secara acak dari dalam lemari. Lauren turun dari tangga dan menghampiri Mbak Santi yang sedang sibuk menggoreng sesuatu sambil bersenandung lagu melayu.
"Mbak."
"Iya..waduhhhhhh, udah rapi aja. Mau kemana? kencan ya?"
"Ih, sok tau! beliin tisu di supermarket depan dong."
"Ya udah, non gantiin goreng dulu ya, bentar lagi mateng kok."
"Ih, ya ogah, ya udah biar Lauren kesana sendiri aja." ucap gadis itu dan segera keluar dari rumah untuk menuju supermarket.
Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Masih jam 18.30, kurang 30 menit lagi sebelum Marcell datang. Baru saja ia akan menyebrang jalan, matanya menangkap seseorang yang sedang terduduk lemah di bangku warung yang telah tutup. Dia meringkuk dan memegangi perutnya. Lauren melirik ke arah motor sport merah yang terparkir di dekat cowok itu. Bukannya itu Gazza?
Ia mendekat, dan benar saja itu Gazza. Lauren pun semakin berani untuk berjongkok di hadapan cowok yang pernah hampir masuk ke dalam hatinya. Wajahnya meringis menahan sakit, Lauren melirik ke perut Gazza yang sengaja ia tutupi dengan tangan. Ada apa disana?
"Lauren?"
"Perut lo kenapa!"
"Betadine! tolongin gue." Lauren menarik paksa tangan Gazza dan seketika membekap mulut saat didapatinya darah segar tercetak jelas di kaus abu-abu milik cowok itu.
"Kok..kok bisaaaa??"
"Betadine!!"
Lauren panik lalu ingin berjalan ke supermarket membeli betadine sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dan berbalik.
"Lo harus ke rumah sakit! biar gue anter!"
Dia pun segera menghentikan taksi dan membantu Gazza untuk masuk ke dalam sana. Tanpa ia sadari, ada sesuatu yang sejak tadi dia tunggu terlupakan karena rasa khawatirnya. Bagaimana jika Marcell menunggu? ya, takdirnya memang akan tetap seperti itu. Menunggu dan ditinggalkan.
---
Marcell mengecek sekali lagi jam yang melingkar di tangannya. 10 menit yang lalu ia baru saja sampai di depan rumah Lauren. Menolak untuk masuk karena ia sedikit canggung, padahal seorang wanita yang menggunakan clemek sejak tadi menyuruhnya untuk duduk di dalam sekalian menunggu sang pemilik rumah datang.
Ia melihat bunga yang tadi dibawanya. Jangan salah paham, ini bukan kemauan Marcell. Mamanya yang memaksa cowok itu untuk memberikan rangkaian bunga itu pada Lauren. Karena menurut Liona, cewek itu suka bunga. Tapi menurut Marcell, bukannya rangkaian bunga itu buat orang sakit atau meninggal?

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Ficção AdolescenteAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...