Kadang ada banyak hal yang tidak harus diumbar.
Rindu, cemburu, perjuangan, dan cinta. Semua punya kotak penyimpanannya masing-masing.-G
Hari ini Jakarta kembali diguyur hujan. Rintik demi rintik perlahan turun dan hilang di dalam genangan. Menciptakan suara yang entah sejak kapan ia sukai. Suara yang selalu mengingatkannya dengan gadis pecinta hujan di ujung sana. Butir butir bening itu bergemelatuk di atas atap. Beradu menjadi satu dengan suara hembusan angin dan gemuruh guntur.
Ia mencintai hujan, tapi kadang juga benci. Karena hujan selalu saja mengingatkannya pada seseorang. Merasa ada tangan yang harus ia genggam, ada tubuh yang harus didekap untuk mencari hangat. Namun sayang, tubuh itu juga sedang berada di dekapan orang lain. Dekapan sahabatnya sendiri.
Jauh dari kebencian itu, rasa cintanya pada hujan ternyata lebih besar. Bukan hanya hujan, namun juga sang pecinta hujan itu sendiri. Percuma ia berusaha lari mencari tempat berteduh apabila ternyata tubuhnya lebih memilih basah kuyup di bawah tumpahan air dari langit. Berlarian dibawah sana dengan rentangan tangan yang bahagia. Padahal justru sebaliknya.
Ia menghembuskan nafas berat. Gadis itu suka hujan, tapi kenapa ia tidak mencoba bermain ke hatinya? hatinya sedang dilanda hujan lebat sekarang. Gemuruh dimana-mana, petir menyambar sahut menyahut dan angin pun mengoyak semua yang dilalui. Ah dia tau, gadisnya hanya suka hujan. Bukan hujan badai seperti yang terjadi dalam perasaannya saat ini. Makanya ia pergi, meninggalkan sesuatu yang sedang badai untuk mencari senja di tepi pantai. Lebih indah kan? tenang dan hangat.
Ia menengadahkan telapak tangannya menampung hujan, menghayati setiap tetes yang jatuh. Tenang, lalu kembali menyayat saat kenyataan kembali menamparnya, semua telah berbeda. Dulu dia yang terpaku melihat gadis ini menatap hujan, tapi sekarang ia yang justru dibuat terpaku saat harus melihat hujan sendirian. Tanpa siapapun.
"Gue kangen."
Ia terkesiap, sadar akan gumamannya sendiri yang dengan lancang keluar begitu saja. Cowok itu menurunkan tangan dan memasukkannya ke dalam saku celana seragam. Menunggu hujan reda memang terasa sangat lama, langit bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti menangis. Kamu kenapa? sedang ada masalah dengan laut? atau bertengkar dengan senja? mmm, mungkinkah kamu sedang rindu pada bintang dan bulan? entah, langit bahkan lebih memilih terdiam dalam kebisuan.
Ia menoleh, menelan salivanya dengan kasar saat melihat gadis yang baru saja ia pikirkan berlindung di bawah jaket hitam sahabatnya. Ia tersenyum tipis, sekedar untuk menenangkan hati bahwa semua akan segera baik-baik saja. Seluruh luka pasti akan terlupa saat rindu tak lagi menjadi candu. Jadi saat ini, mungkin semua masih butuh waktu untuk kembali pada masa masa sebelum semuanya bertemu dengan hati. Lalu akhirnya tersakiti.
"Bagus deh kalau lo bahagia, walaupun bukan sama gue."
Marcell bergumam pelan saat melihat Lauren tertawa sambil menyipratkan air dari tangannya ke wajah Gazza. Gadis itu tertawa lebar saat Gazza menggelitiki perutnya, seolah semua beban selama ini telah hilang. Seolah Marcell memang tidak pernah ada, dan seolah semua kenangan itu berhasil dilupakan. Nyatanya ternyata tidak semudah itu.
"Jomblo nggak usah lihat orang pacaran." ucap Meika menendang pelan pantat Marcell dengan kakinya.
Cowok itu menoleh, memicing tajam pada gadis berambut coklat gelap yang sengaja digerai berantakan. Meika mengangkat satu alis menatap Marcell sebelum melirik ke belakang punggung cowok itu. Hatinya bergemuruh cemburu saat melihat pemandangan itu. Kekanakan sekali, padahal ia tau bahwa itu hanya Lauren. Sahabatnya, tapi kenapa tetap sesakit ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Ficção AdolescenteAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...