Antara bertahan atau
mundur perlahan.-M
Gemericik air beradu menjadi satu dengan pantulan sinar matahari yang mulai terang. Menyapa apa saja yang ia lihat tanpa peduli bahwa silaunya terkadang mengganggu kenyamanan. Dijam seperti ini, tepat di jalanan yang berada jauh di bawah sana, semua orang tau bahwa jalanan akan terlihat padat merayap. Suara teriakan pedagang kaki lima bersahut-sahutan dengan suara kernet angkot dan klakson kendaraan. Bising.
Belum lagi ini panas, udara kotor dari beberapa tempat industri, serta kesibukan sebagian besar orang yang bahkan banyak dimulai pada pukul yang sama. Ia menyambar handuk, meletakkannya di atas kepala saat sepasang baju telah melekat menutupi tubuh cowok itu. Kakinya melangkah keluar, menyebabkan harum sabun menguar begitu saja memenuhi kamar inap seseorang.
Gazza menurunkan ponsel yang tadi ia mainkan. Mengamati gerakan Marcell yang sedang mengusap rambut basahnya sambil berjalan ke arah balkon untuk membuka pintu.
Aroma maskulin yang sudah Gazza hafal mulai merambat masuk ke indra penciuman cowok itu. Membuatnya selalu merasa bersalah apabila kembali mengingat tentang perasaanya pada orang yang Marcell sayangi. Orang yang berhasil membuat sahabatnya itu kembali lagi."Awas kesambet!"
"Cell, gue mau pulang."
"Iya, nunggu Om Gilang."
"Lagian, gue nggak sakit."
"Gue juga heran," ucap Marcell memasukkan potongan apel yang baru saja ia kupas ke dalam mulutnya. "Padahal cuma gitu, dikasih obat merah selesai. Bokap lo sih, heboh nyuruh lo harus rawat inap."
"Dia pikir gue sakit jantung kali."
"Sakit jiwa."
"Itu Arsen."
"Sakit hati." ucap Marcell tersenyum dan menyodorkan semangkuk apel ke arah Gazza.
"Lo aja yang makan."
"Gue sengaja motong buat lo, ini tadi gue tes dulu, layak nggak."
Gazza mengangguk, ini yang membuatnya semakin merasa bersalah pada Marcell. Marcell terlalu baik dalam memperlakukan seseorang yang dianggapnya penting. Ia yakin, jika pun nanti Marcell tau tentang perasaan itu. Lagi-lagi, mungkin dia yang memilih untuk mencari jalan mundur secara perlahan. Dan Gazza tidak ingin hal itu terjadi.
"Gazza!!!!"
Mereka berdua menoleh, di ambang pintu terlihat seorang laki-laki dengan kemeja bewarna putih sedang berdiri disana dengan wajah khawatir. Ia mendekat lalu mengecek beberapa bagian tubuh Gazza sebelum akhirnya berhenti pada perut cowok itu yang masih diperban.
"Anak sape sih lo!!" ucapnya menekan perban Gazza membuat cowok itu meringis pelan dan langsung menepis tangan papanya.
"Sakit pah!"
"Siapa suruh sok-sok an berantem, lo pikir adegan di film-film itu bisa sembarangan ditiru. Udah dibilangin juga, "adegan ini hanya diperbolehkan untuk para ahli yang profesional", bisa baca nggak lo?"
"Iya iya pah."
"Iya iya, papa khawatir!"
"Gazza mah nggak usah dikhawatirin om." saut Marcell membuat Gilang menoleh dan menggeleng.
"Bukan dia, khawatir sama tabungan, makin nipis kan buat biaya pengobatan."
"Gitu amat sama anak."
"Anak sapa lo?!"
"Papa lah!"
"Gue nggak bisa lahiran!" sewot Gilang membuat Gazza memutar bola mata malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELEZIONE
Novela JuvenilAku mencintainya, itu sederhana. Tapi satu yang membuatnya rumit, aku terlalu takut untuk menerima hal yang berakhir dengan sakit hati. Pun aku terlalu ragu dan justru berjalan mundur memberi peluang. Memberi kesempatan orang lain untuk ikut memili...