Chapter 2

89.5K 5.7K 32
                                    

🕊🕊🕊

Sebanyak apapun hartamu, namun sedikit sedekahmu maka kamu MISKIN!
setinggi apapun jabatanmu, namun sedikit rasa dermawanmu maka kamu MISKIN!
jika kamu memiliki harta yang banyak, kendaraan yang bagus, anak yang hebat, kaya, tampan, pintar  namun tidak mampu menyelamatkanmu di akhirat maka kamu FAKIR DAN MISKIN!!

🕊🕊🕊

Setelah mengulang hafalannya di hadapan sang ayah ketika mereka menjelang tidur Fariha selalu curhat terlebih dulu pada ayahnya mengenai kegiatannya seharian ini.

Tak jarang ia menunjukkan ekspresi marah, tertawa cemberut bahkan menangis kala mengenangnya. Membuat sang papa terhibur dengan celotehan putri tercintanya itu

"Pa, tadi bu Ira mau belikan Riha es krim saat menunggu jemputan. Tapi paman Jojo datang (paman Jojo adalah supir pribadi keluarga Farikha) dan mengacaukannya. "

Ucap Riha dengan wajah cemberut. Yang terlihat sangat menggemaskan membuat sang ayah tidak mampu menahan untuk menciumi wajah putri cantiknya hingga membuat Fariha sebal.

"Papa!, Riha belum selesai cerita. Papa mengganggu! sama seperti paman Jojo!".

"Papa tau. Pasti ujung-ujungnya Riha merengek minta ayah belikan es krim"

"Kok papa tau? Apa papa bisa baca fikiran Riha? "

Tanya Riha terkejut. Bagaimanapun dia tetap anak kecil yang berpikiran polos.

"Tentu bisa" jawaban ayahnya membuatnya berfikir sejenak.

"Bagaimana caranya papa?  Ajari Riha juga ya pa?"

Ramdan tertawa melihat tampang putrinya yang sedang penasaran itu. Ia menjawil hidung mancung Riha dan membuatnya memerah.

"Suatu saat Riha pasti bisa melakukannya ketika sudah dewasa. Karna ini hanya bisa di lakukan saat Riha sudah dewasa"

"Benarkah pa? Kapan Rikha dewasa? "

"Suatu saat nanti. Sekarang sudah malam, ayo berdoa sebelum tidur"

Lalu terdengar suara mungil Riha yang melantunkan doa sebelum tidur. Itulah sepenggal kedekatan anak dan ayah yang selalu terjadi setiap menjelang tidur.

🕊🕊🕊

"Ramdan mama mau tanya sesuatu boleh?"
Tanya sang ibu pada putranya ketika sarapan telah selesai.

"Kenapa harus izin? mama mau tanya apa?" Ramdan menoleh ke arah mamanya dengan kening berkerut, tanda bertanya.

"Bi Inah, Tolong antarkan Riha ke mobil ya. Waktunya berangkat sekolah".

"Baik nyonya" Jawab sang pembantu dengan patuh.

Lalu Riha mendekati ayah, nenek dan kakeknya untuk bersalaman.

"Papa Riha berangkat sekolah ya. Nanti harus jemput Riha oke? " mintanya dengan mata penuh harapan, namun jawaban sang ayah.

"Kalok papa sempat ya, sayang" dan jawaban itu membuatnya kehilangan semangat.

"Selalu seperti itu jawabannya."

Lalu Riha di bimbing bi Inah menuju mobil sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal karna jawaban sang ayah yang tak memuaskan.

"Mama mau tanya apa? "

Tanya ramdan penasaran dengan apa yang ingin di ketahui sang mama.

"Apa kamu memiliki niatan untuk memberi Fariha seorang ibu? " tanya ibunya  to the point.

Ramdan terdiam, ini adalah hal yang pernah mamanya tanyakan beberapa kali. Dan beberapa kali pula tak mendapat jawaban yang pasti dari Ramdan.

"Mah Ramdan belum tau, jika Allah memberi Ramdan jodoh kedua yang akan menemani sampai akhir hayat, Maka Ramdan takkan menolak. Namun Ramdan belum siap jika di suruh mencari"

Selalu seperti ini. Membuat sang ibu sedikit sebal pada sang anak satu-satunya ini.

"Bagaimana jika mama yang mencarikan kamu wanita sholehah jika kamu belum siap mencarinya"

"Mah Ramdan tau mama mengerti dengan maksud ucapan Ramdan"

Ya, mamanya tentu tau apa maksud putranya, bukan belum siap mencari. Namun belum siap membangun kembali.

Ketika Ramdan selesai mencium tangan mamanya dan berniat pergi ke kantor ucapan sang mama menghentikannya.

"Apa kamu tidak merasa kasihan dengan Farikha, Ramdan? Terkadang di sekolah sambil menunggu jemputan ia memperhatikan anak lain yang di jemput sang ibu dan di sambut dengan pelukan.

Tapi dia? Dia hanya duduk di bangku taman menunggu supir menjemputnya, apa kamu tidak merasa bersalah?"

Ucap mamanya dengan nada miris.

"Mama tau kamu tak bisa selalu menemaninya dan mengantar jemputnya. Maka dari itu, berikan dia sosok yang mampu menggantikan peran ibu kandungnya yang  telah tiada".

Anisa, mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca membayangkan keseharian Farikha yang tak pernah merasakan kehadiran seorang ibu. Dan ucapan yang dikatakannya sukses membuaf Ramdan membeku dan tak berkutik sama sekali.

Selama ini ia sudah berusaha meluangkan waktu untuk putrinya. Ia pikir itu sudah cukup. Dengan setiap malam menemaninya, mendengarkan curahan hatinya, memeluknya kala terlelap.

Namun hari ini mamanya menyadarkannya. Fariha tetap membutuhkan kasih sayang dari wanita yang dapat di panggilnya sebagai ibu.

Lalu ia harus bagaimana?

IBU UNTUK ANAKKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang