"Sayang, gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?"
Ramdan bertanya dengan lembut ketika melihat Ira bangun dari tidurnya. Tangan yang sedari tadi malam menggenggam tangan isterinya kini semakin ia eratkan.
Ira menatap Ramdan dengan senyuman. Senyum lembut yang berusaha keras ia perlihatkan. Jika ia menuruti ego dan sakit hatinya, keinginan terbesarnya saat ini adalah memukuli dan memaki suaminya ini. Namun akal sehat dan keimanan dalam hatinya masih berfungsi.
Ia tidak ingin berprilaku seperti manusia tak bertuhan. Ia di didik sejak kecil dengan kasih sayang dan kesopanan. Dan itu takkan ia buang hanya karena amarah yang membelenggu.
Apalagi belum ada penjelasan apapun yang ia dapatkan dari Ramdan mengenai apa yang ia lihat kemarin siang di kantor.
Ia juga belum mendapat penjelasan kenapa suaminya ini baru datang dimana seharusnya dialah orang pertama yang menemui dan menghawatirkannya disaat seperti ini."Kakak terlihat lelah, apa sudah makan siang?"
"Kakak tidak lapar, jangan khawatir. Kamulah yang perlu di khawatirkan saat ini sayang"
"Maaf selalu merepotkan dan membuat kakak khawatir, aku sudah merasa sehat kak, bisakah kita pulang hari ini?"
Ira tidak ingin membuat suaminya semakin kacau. Entahlah, disaat kemarin ia melihat suaminya dalam keadaan tak senonoh dengan wanita lain membuat amarahnya memuncak.
Namun disaat melihat wajah sayu dan letihnya Ramdan, Ira malah merasa bersalah. Seolah ada hal besar yang sedang Ramdan hadapi.
"Dokter bilang besok, kamu boleh pulang besok. Dengar, kakak minta maaf. Kaka ingin mengatakan semua yang kakak sembunyikan padamu, hal yang membuat kakak selalu merasa gelisah dan khawatir karna rasa takut akan kehilanganmu.
Tapi tidak sekarang sayang. Maukah kamu menunggu, kakak pasti akan jelaskan, dan kakak hanya ingin kamu bertahan di sisi kakak sampai kapanpun, maukan?"
Ira tersenyum, akhirnya Ramdan membahas masalah ini. Masalah yang selalu membuat Ira juga merasa gelisah dan khawatir. Apapun yang terjadi, Ramdan mengatakannya untuk tetap tinggal. Itu berarti, Ramdan akan selalu di sisinya.
Apalagi Ira memiliki alasan yang kuat untuk tetap di sisi Ramdan. Yaitu malaikat mereka. Ah, apa Ramdan sudah mengetahui keberadaan malaikat mereka?
"Aku akan bertahan kak, apapun yang terjadi aku akan menunggu semua kembali seperti semula. Meski sekarang aku tidak tahu situasi seperti apa yang sedang kakak hadapi. Namun percayalah, aku akan menunggu"
Ramdan membeku, dengan perlahan menghembuskan nafas lega, betapa beruntungnya ia memiliki wanita seperti Ira di hidupnya. Dengan cepat ia membawa Ira kedalam dekapannya.
"Kak, apa kakak sudah tau akan keberadaannya?"
"Apa maksudmu sayang? Siapa?"
"Apa mama tidak mengatakan apapun?"
"Tidak, mama hanya bilang, kamu yang akan memberi tahu kondisimu"
Baiklah, Ira faham. Ibu mertuanya ingin dia sendiri yang menyampaikan kabar gembira ini pada suaminya.
Dengan senyuman yang merekah, Ira mengambil tangan Ramdan dan meletakkannya di permukaan perutnya yang tertutup oleh baju pasien.
"Malaikat kita sedang tidur di dalam sini, apa kakak bahagia? Maukah kakak menerimanya sepenuh hati?"
Hening.
Ramdan diam dengan mata terpaku menatap tangannya yang berada di atas perut isterinya.
"Ap..apa? Malaikat?"
Dengan terbata, Ramdan berkata sambil menatap mata Ira yang menatap dengan penuh harap. Harapan ia akan melihat wajah bahagia Ramdan setelah mendengar kabar ini.
Namun hatinya dag dig dug
Melihat Ramdan yang berkali kali mengalihkan tatapan dari wajahnya ke perutnya.
Apa yang salah? Ia sudah mengatakannya dengan jelas bukan?
Apa Ramdan tidak faham dengan kiasan Malaikat yang dia maksud tadi?Namun beberapa saat kemudian tangan besar itu menangkup wajahnya, dan kali ini Ira kaget.
Ramdan Menangis
Meneteskan air mata sambil mengecupi pucuk kepalanya.
"Ternyata begini, rasanya memiliki malaikat yang tumbuh di rahim wanita yang kita cintai. Malaikat yang kutunggu kehadirannya. Terimakasih, telah menjadi perantara malaikatku untuk datang ke bumi ini, terimakasih sayang. Aku mencintaimu"
Tanpa basa-basi, air mata Ira ikut mengalir. Pikirannya salah, dan ia bahagia karna itu. Ramdan sangat bahagia.
"Malaikat papa, terimakasih sudah hadir. Kamu akan menjadi salah satu alasan papa untuk semakin kuat setiap harinya"
Dengan wajah mengarah ke perut Ira, dia mengucapkan kata-kata sambil menciuminya.
" Riha pasti sangat senang akan memiliki adik sayang"
Wajah sendu dan sayu Ramdan hilang tergantikan oleh raut cerianya.
"Riha sudah tahu kak. Dan ya, dia sangat bahagia"
"Semua akan bahagia mendengar kabar ini"
"Semua memang bahagia mendengar kabar ini kak"
"Baiklah, apa hanya aku yang baru tahu disini?"
"Salah siapa baru datang di saat isteri sekarat. Malah yang anter ke rumah sakit tetangga. Kasihan sekali aku, punya suami yang tidak siaga"
"Sayang, kan kakak sudah minta maaf. Kakak terima deh kalo kamu mau hukum. Apapun yang penting pembahasan ini tidak keluar lagi"
"Apapun?"
Ramdan mengangguk dengan ragu. Takut kata 'apapun' yang di ucapkannya di salah gunakan oleh Ira, dan malah menjadi bomerang bagi diri sendiri.
"Baiklah, apapun. Tapi tidak sekarang. Akan ada waktunya nanti hukuman dilaksanakan"
Ira tersenyum jahil menatap wajah tegang suami dihadapannya ini. Lucu sekali, wajah yang biasanya cool dan manly itu.
🖤🖤🖤
Kalo mau dilanjut cepet, jangan lupa komen tentang cerita ini. Jangan cuma, lanjutt ka, next thorr, up lagi, lagi dong...
Aku mau tau, pandangan kalian tentang ceritanya. So, jangan lupa kasih komentar dan vote pastinya.
Makasih semua, aku bukanlah apa-apa tanpa pembaca...😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
IBU UNTUK ANAKKU [END]
General FictionTak pernah merasakan kasih dan belaian seorang ibu sejak hari pertama melihat dunia membuat Riha merindu. Sosok kecil dan manis itu jatuh hati pada seorang wanita cantik dan menginginkannya untuk menjadi ibunya, memberikan kasih sayang dan belaian c...