Chapter 6

72.5K 5.3K 18
                                    

Kondisi riha perlahan sudah mulai membaik. Ia bahkan sudah tidak dirawat di rumah sakit.

Dokter bilang, hal seperti ini banyak dialami oleh anak seusia riha.

Bila ada sesuatu yang menggangu dan merasa terbebani, seorang anak akan mengalami kondisi tubuh yang menurun. Karna mereka tak seperti orang dewasa, yang mampu mengatasi semuanya dengan baik.

Sejak ira menjenguknya di rumah sakit, riha tak mau ditinggal. Riha mengatakan pada neneknya saat sang nenek membujuk riha agar memperbolehkan ira pulang bahwa ia merasa punya mama. Dan hal itu sukses membuat sang nenek tak berkutik.

🕊🕊🕊

Ira tak tau, rasa sayangnya terhadap riha semakin bertambah. Ya bertambah, karna ia sudah menyayangi riha saat pertama melihat riha datang mengaji ke rumahnya.

Wajah cerianya yang bersinar dan tingkahnya yang sangat manis, membuat ira tak segan menyayangi anak itu.

Apalagi saat adegan dimana Riha memintanya menjadi mamanya. Ia ingin memanggil ira dengan sebutan mama, ira sangat terharu bahkan Diam-diam ia menangis.

Dan kini mereka benar-benar seperti ibu dan anak. Kasih sayang riha pada ira sperti ia menyayangi seorang mama kandung. Begitupun sebaliknya.

Lalu bagaimana dengan ramdan?

Ia berusaha menghindar saat ira datang ke rumahnya untuk bermain dengan riha di temani mama nisa.
Ramdan menyibukkan diri di ruang kerja. Kenapa?

Karna saat melihat ira berada di rumahnya ia seolah merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya merasa berdegup kencang.

Ia takut apa yang ia alami ini menjadi zina fikiran dan hati.

Bukan tak sadar dengan apa yang sedang terjadi padanya. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Dan ini pertama kali baginya. Karna itu ia menyadari perasaan apa ini.

Namun ia tak sanggup mengatakannya, ia sadar diri. Tak mungkin ira mau hidup bersamanya. Ia pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Ia tau Ira adalah wanita yang baik, sholehah dan selalu menjaga diri.

🕊🕊🕊

Setelah Riha tidur, ramdan turun untuk mengambil minum. Ia merasa haus setelah berjam-jam mendengarkan celotehan putrinya tentang apa yang ia lakukan hari ini bersama ira di taman.

Bahkan ia tak punya kesempatan untuk menimpali. Putrinya itu bercerita seperti kreta api yang tak punya rem.

Sebenarnya ia tak terlalu mudeng dengan apa yang riha katakan, tapi demi membahagiakan putrinya. Saat riha tertawa, ia pun ikut tertawa, saat riha marah ramdan ikut mengomel memihak riha. Ia merasa seperti orang idiot.

"Ramdan, mama sama papa mau ngomong sesuatu. Duduklah di ruang tamu, papa sudah menunggu"

Ramdan mengernyit bingung, apalagi ini?
Dia pun menurut.

"Duduklah, " ucap sang papa.

Ramdan duduk di hadapan papanya. Dan mamanya duduk di dekat sang papa. Ia merasa seperti di introgasi.

"Ramdan, papa sudah lama menunggu kamu siap membangun rumah tangga, namun nyatanya waktu yang di tunggu sangat lama datangnya. Dan papa merasa sudah waktunya kamu kembali mejejaki hal baru. Rumahtangga baru. "

"Papa sudah melamar seorang wanita untukmu"

Ramdan berdiri, dengan wajah memerah.

"Apa papa akan mengulangi kesalahan yang sama dalam hidup ramdan? Papa selalu seperti ini"

Ramdan berniat beranjak menaiki tangga, namun sang ibu mencegahnya.

"Nak, papa belum selesai bicara, dengarkanlah dulu. "

Atas bujukan sang mama, akhirnya ramdan kembali duduk.

"Ira, sosok yang di inginkan riha menjadi mamanya. Papa melamarnya untukmu 3 hari yang lalu"

Ucapan papanya membuatnya shock, antara percaya dan tidak. Perasaan kecewa dan marah yang tadi ia rasakan kini berubah menjadi khawatir.

"Lalu, ira minta di beri waktu tiga hari untuk memikirkannya dengan matang. "

"Papa, aku tak pantas untuk ira, dia... "

"Papa tau, itulah yang membuatmu takut untuk kembali menapaki rumah tangga, tapi jika kamu selalu seperti itu. Maka kamu takkan pernah memiliki seorang pendamping. "

"Ira wanita yang sholehah, ia menyayangi riha seperti putrinya sendiri. Kamupun sudah melihatnya selama ini. Saat riha sakit, bagaimana ira mengurusnya dengan telaten. Saat riha merengek, bagaimana ira membujuknya dengan sabar. Dan yang terpenting. "

Sang ayah memberi jeda ucapannya sambil memandang wajah putranya itu.

"Papa tau kalau kamu menaruh hati padanya, itulah yang membuat papa berani melamarnya untukmu nak"

"Masalah diterima atau tidak, Itu bukanlah hal yang harus di takutkan. Yang terpenting, kamu sudah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya dalam khitbah"

Jujur, ucapan sang ayah yang bijak, membuatnya agak percaya diri, sekarang ia takkan jadi pengecut. Masalah diterima atau tidak itu tergantung Allah sang penentu.

"Besok, kita akan ke sana meminta jawaban. Kita akan pergi bersama"

IBU UNTUK ANAKKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang