CHAPTER 9

2K 309 14
                                    

Hujan turun tadi pagi, menyisakan awan hitam yang masih enggan untuk terberai walau angin cukup kencang menyentuh awan-awan itu. Untuk pertama kalinya, aku kembali mencoba membuat kopi di sini setelah sekian lama tidak mencobanya. Dengan bantuan internet, secangkir espresso panas akhirnya siap untuk disajikan. Ya, aku hanya suka minum kopi tanpa berniat bisa membuatnya sendiri.

"Rumah ini lumayan juga," ujar Mr. Kelly seraya melihat sekeliling rumahku beserta interiornya. Ia menatap beberapa pajangan di rumah ini dengan raut wajah serius seolah dia sedang berada di pameran seni. Kepalanya sedikit manggut-manggut sesekali mengusap dagunya yang ditumbuhi rambut halus itu.

"Kau seperti juri penilai seni, Sir," ujarku tersenyum geli melihat editorku bertingkah aneh. Aku meletakkan kopi buatanku di atas meja. Pria ini juga menyukai kopi. Ia langsung duduk usai aku menyajikannya.

"Apakah ini aman untuk kuminum?" tanya Mr. Kelly melihat kopi buatanku. Aku menatap editorku dengan tatapan tajam.

"Aku belajar membuatnya, Sir. Tolong hargai itu," jawabku lalu duduk di sofa. Sementara Mr. Kelly hanya tertawa kecil dan ia mulai menyesap sedikit.

"Hm... aku hargai usahamu, Sarah. Rasanya sekarang enak. Aku ragu karena lima bulan lalu kau membuatkanku kopi dengan rasa yang sangat aneh!" komentarnya.

Aku menghela nafas. Well, aku tahu dia hanya main-main bicara seperti itu, walau terkadang kenyataan menampar alam sadarku. Aku pernah membuat kopi dan menyuguhkannya kepada Mr. Kelly dan ia harus mengalami sakit perut selama rapat pertemuan dengan penulis lain usai meminumnya.

"So, kau hanya ingin tahu rumahku ini? Ini hanya rumah sewa. Dua minggu lagi aku akan pulang ke Canada,"

"Hei, Sarah, anggap saja aku berkunjung ke sini sebagai temanmu, bukan rekan kerjaku yang harus kutagih pertanggung jawabannya. Apakah salah jika aku ingin tahu keadaanmu di sini?" tanya Mr. Kelly.

Dia benar. Kami sudah setahun kenal dan menjadi mitra kerja dalam kantor penerbitan. Ia memahami karakterku begitu juga sebaliknya. Umur kami yang terpaut lima tahun tidak membuat kami menjaga jarak. Mr. Kelly sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Aku menghela nafas dan menatapnya.

"Baiklah," ujarku padanya.

Perlahan kudengar suara dari rumah seberang. Kulihat dari pintu rumahku yang terbuka, Chanyeol, Sehun, dan Lay sedang tertawa dengan kencang sambil keluar dari rumah dengan terburu-buru, lalu disusul oleh Kyungsoo yang berjalan cepat menghampiri mereka bertiga dengan wajah tak kalah usilnya. Terakhir, kulihat Baekhyun keluar rumah dengan membawa satu kaleng bir yang kosong, dan ia bersiap melempar keempat temannya yang kini pergi dengan cepat sebelum kaleng kosong itu mengenai salah satu dari mereka. Dari pakaian mereka, aku yakini mereka hanya ingin mencari makan atau membeli sesuatu di sini. Wajah Baekhyun merah padam, dan detik berikutnya, ia melirik ke rumahku sebentar, dan berakhir ia memasukki rumahnya. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah mereka.

"Orang Korea juga?" tanya Mr. Kelly sembari melihat kejadian barusan. Aku menganggukkan kepalaku.

"Wah, itu pasti menyenangkan bertemu dengan teman dari negara asalmu," katanya lagi.

"Ya, itu sangat menyenangkan,"

"Kau tidak berniat pulang ke Korea bulan ini?" tanya Mr. Kelly.

"Kurasa aku tidak pulang. Pekerjaan menumpuk jika aku pulang, Mister," jawabku menghela nafas.

"Baiklah kalau begitu. Setidaknya kabari kedua orang tuamu," ujarnya lagi. Aku terkekeh kecil mendengar perkataannya.

"Kau ini ingin jadi menantu orang tuaku, ya? Selalu saja membicarakan mereka." Aku tertawa menggodanya. Mr. Kelly hanya menatapku datar dan kembali menyesap kopinya.

Silence Love ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang