Part 7 - Suatu Hari di Selasar

7.7K 671 36
                                    


"Katanya mau pulang weekend? Ini udah hari apa kamu baru nongol di rumah?" Sindiran sang ibu langsung memenuhi telinga Dev begitu ia menginjakkan kaki di rumah keluarganya.

"Ya ampun mah, Dev baru sampe rumah lho ini. Copot sepatu juga belum.." Dev menghela napasnya sambil berjalan memasuki rumahnya.

"Habisnya kamu, mamah sama papah nungguin dari kemarin Sabtu tapi kamunya nggak nongol-nongol. Mamah telpon nggak diangkat, chat nggak dibales. Jual aja itu handphone kalau nggak ada faedahnya!" Semprot ibunya sambil membuka kulkas yang berada di ruang makan.

"Iya habis ini Dev jual. Tapi besok mamah beliin Dev smartphone baru yang harganya dua belas juta.." timpal Dev sambil lalu. Ia mengambil cangkir kesayangan bermotif kotak-kotak hitam di lemari dapur kemudian mengisinya setengah dengan air putih dingin.

"Jangan ngimpi kamu! Handphone mamah aja harganya nggak ada dua juta, kamu minta mamah beliin handphone harganya dua belas juta.." Ana - sang ibu - tidak dapat menyembunyikan dengusannya.

"Haha.. udahlah mah, kenapa jadi bahas handphone deh.."

"Lagian kamu, punya handphone mahal-mahal tapi dihubungi nggak bisa. Mamah jadi kasian sama istri kamu besok, dapet suami macem kamu ini. Duh... ngimpi apa mamah ya bisa punya anak nggak peka kayak kamu. Ganteng sih ganteng, tapi kalau terlalu cuek mah sama aja bo'ong.."

Pedes banget ya ini ibu-ibu kalau ngomong. Untung gue udah kebal.. Kira-kira begitulah isi kepala Dev begitu mendengar celetukan sang ibu yang luar biasa pedas.

Bagi orang yang belum kenal dengan ibunya, mungkin mendengar perkataan tersebut akan menyebabkan shock dan hilang kata-kata. Tapi bagi Dev dan mungkin juga anggota keluarga besar Dev, celetukan sang ibu tadi mungkin bukan apa-apa. Terlebih sikap ibunya yang ceplas-ceplos dan apa adanya.

"Udah ah Dev ke atas dulu, mau ke kamar. Pusing dengerin omelan mamah. Nggak Dev bawain mantu baru nanti mamah kapok.." gumam Dev lirih di akhir kalimatnya, berharap sang ibu tidak mendengarnya. Tapi harapan hanya tinggal harapan karena nyatanya ibunya mendengar gumaman Dev itu dan langsung menimpali dengan garang.

"Liat aja ya kamu, mamah jodohin beneran baru kamu tau rasa!!" Sementara itu Dev langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya dengan tawa yang menggema di seluruh penjuru rumahnya.

*

Tok.. tok.. tok...

"Bang Dev..." suara perempuan terdengar dari balik pintu kamar Dev.

"Masuk aja dek.."

Pintu kamar Dev langsung terbuka dan menampilkan sosok perempuan muda yang usianya mungkin beberapa tahun di bawah Dev. Parasnya yang cantik, rambut panjang sepinggang berwarna hitam kecokelatan yang diurai, dan tinggi badan yang kira-kira menyamai telinga Dev. Dia bisa dikatakan sebagai versi perempuan dari Dev.

Irene Tatiana Rajendra - adik perempuan Dev tentu sangat dapat disebut sebagai versi perempuan dari Dev Rajendra. Selain kemiripan secara fisik, keduanya pun memancarkan aura yang sama. Jangan tanya dari mana mereka mendapatkan anugerah good looking itu. Tentu saja jawabannya mudah. Bramantyo Rajendra yang kharismanya seakan tidak memudar seiring bergantinya zaman, dan kecantikan sang ibu - Anastasya Gautama - yang memang model pada masanya. Usia Irene baru dua puluh tahun, selisih enam tahun dari Dev. Kini ia masih mengenyam bangku perkuliahan di salah satu universitas di Jakarta dengan mengambil program studi arsitektur interior.

"Abang ngapain mamah kok sampe teriak-teriak tadi?"

"Abang ngapain mamah? Ada juga mamah yang ngapain abang.." Dev yang tengah mencopot kaos kakinya menoleh ke arah Irene yang kini duduk di kursi kerja milik Dev.

REUNI(TE) - [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang