"Huwaaaa baju olahraga gue ketinggalan!" teriak Raina saat memeriksa isi tasnya bahwa ia hanya membawa celana olahraga tanpa atasannya.
Masalahnya, ini bukan pertama kalinya gadis itu ketinggalan sesuatu. Pasti selalu berulang kali gadis itu lupa apa yang harus ia bawa dan pada akhirnya barang tersebut berakhir di rumahnya---tidak dibawa.
Raina menepuk-nepuk jidatnya berulang kali sambil merutuki dirinya yang sangat pelupa. Sedangkan, Rinda yang sedari tadi duduk di sampingnya hanya melihatnya ngeri, takut-takut kalau temannya itu melakukan hal yang aneh.
"Kamu kenapa, Rai?"
Seketika gadis pelupa itu menghentikan kegiatannya---menepuk jidat. Bola matanya berpindah ke arah kiri dan menatap teman sebangkunya yang tanpa ia sadari sudah datang.
Raina memasang muka sedih, pasrah, kesal, dan takut. Campur aduk.
Karena pertanyaannya tidak dijawab dan hanya dibalas oleh tatapan muka absurd, Rinda mengernyit. "Yang jelas. Kamu kenapa? Daritadi pas aku dateng ke kelas, aku udah lihat kamu tepuk-tepuk jidat sendiri kayak orang gila," tanyanya---lagi.
Lagi. Semua orang katain gue orang gila. Emang istimewanya orang gila apa, sih? Kemarin Viola sekarang Rinda, batin Raina.
"Aaaaaaa Riiindaaa! Aku gak bawa baju olahraga, padahal hari ini tuh Pak Udin lagi killer," Mencoba mengeluarkan unek-uneknya, "lagian Kak Adin, sih, suruh buru-buru jadinya aku lupa bawa baju olahraga."
"Bawa handphone, gak?"
Raina memicingkan matanya dan wajahnya berubah kembali suram. "Gak bawaaaaaa."
"Biasanya kamu bawa. Mana? Aku pinjem dong," ucap Raina tanpa dosa.
Yang dipaksa hanya menyengir. "Aku juga gak bawa. Maaf ya."
Raina mengambil napas dan menghembuskannya. "It's okay."
%♡%
"Tapi, Pak saya udah siapin dari kemarin malam. Gara-gara Kakak saya jadinya baju saya ketinggalan."
"Pokoknya gak ada alasan. Sekali tidak bawa akan mendapat hukuman," titah seorang guru olahraga.
"Tapi, Pak saya udah dua kali gak bawa baju olahraga. Kan, kata Bapak kalau sekali tidak bawa akan mendapat hukuman. Iya, kan, Pak?" elak Raina.
Namun, dari sudut pendengaran Raina. Ia masih bisa mendengar suara bisikan yang tengah membicarakannya atau tertawa cekikikan karena melihat perilakunya yang sudah tak mencerminkan harga diri. Malunya. Padahal ia anak teladan di sekolah ini seperti yang dulu-dulu, tapi karena mengenal yang namanya cinta si monyet itu yang katanya cinta membutakan semuanya, membuat gadis pikun ini menjadi terbayang-bayang terus oleh cinta si monyet itu.
"Udah terima aja hukumannya. Ribet amat, sih, jadi orang," ucap kubu perempuan yang tak menyukainya.
Memang, di kelas Raina ini ada 3 bagian kubu. Pertama, ialah kubu tukang gibah, tante-tante gosip, yang setiap belajar selalu berisik---bukan berdiskusi pastinya. Kedua, kubu nerdy. Entah kenapa Raina lebih menyukai kubu kedua ini, tetapi ia juga tak terlalu berteman akrab dengan kubu ini dikarenakan mereka penutup dan pemalu. Sangat susah untuk diajak berbicara. Ketiga, kubu lelaki rese. Musuhnya kubu pertama. Jika mereka berulah maka hancurlah kelasnya menjadi teriakan petasan mercon.
Raina melirik ke arah sumber suara itu dan kembali ke Pak Udin. "Ya sudah, hukum saya saja Pak kalau begitu."
Hukumannya pasti lari putarin lapangan sebanyak hari ini tanggal berapa, atau push up. Atau bersihin toilet---eh, mana ada guru olahraga hukumannya kayak begitu. Gak keren banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengagum Rahasia ✔
Teen FictionCerita ini akan mengantarkanmu mengapa seseorang bisa menjadi 'Pengagum Rahasia' dan kenapa rasa suka terhalangi oleh luka lama? Demi mengungkapkan kebenaran 'mantan sahabatnya' ia harus rela berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu itu dulu menjadi...