32. The Sun and Rain

881 53 4
                                    

Tok. Tok. Tok.




Pintu terbuka dan menampilkan sang tuan rumah. "Ada apa?" tanyanya.

Gadis itu melirik ke belakang badan tuan rumah, apakah orang yang ia cari ada atau tidak?

Arga mengernyit bingung. "Cari siapa?"

Gadis yang satunya lagi berbicara, "Kak Shamuel mana, Ar? Si Raina mau ngomong sesuatu yang penting sama dia."

Pandangan Arga berpindah haluan ke Naya dan berbalik ke Raina. "Sham ada di dalem, tapi gak mau diganggu dianya."

"Tapi kan gue sepupunya. Masa gak boleh gangguin?" Naya menghela napas, "KAK SHAMUEL KELUAR DONG! JANGAN KAYAK ANAK KECIL YANG SEMBUNYI DARI MASALAH!" teriak Naya sekeras-kerasnya.

Arga berdecak kesal karena bisa saja sehabis Naya berteriak, seluruh tetangganya akan mengamuk massa di depan rumahnya.

"Ar, suruh Sham keluar, gih. Kasihan Naya yang sepupunya udah stress begini. Lagian gue kalo jadi Naya bakalan lakuin hal yang sama, kalo ada masalah itu cerita bukannya dipendam terus kabur begitu aja. Bukannya tambah kelar malah tambah jadi beban dan sakit."

"Gue tahu rasanya sakit karena masalah orang tua ... bercerai? Mungkin itu bakalan jadi sakit sepanjang masa, lagipula mana ada anak yang mau orang tuanya bercerai. Gak ada, kan? Kalo dibilang sakit sih pasti, tapi itu takdir, Sham, lo harus terima. Jangan dibawa perasaan, lakuin aja hal-hal yang lo mau," lanjut Raina.

Lalu orang yang dibicarakan keluar dari tempat persembunyiannya dengan tatapan sinisnya. "Lakuin hal yang gue mau kan?" Sham menatap Raina lalu Naya bergantian.

"Gue maunya bunuh diri. Gue mau mengakhiri semuanya. Dunia tuh gak adil dengan gue, gue yang mati-matian buat dapet perhatian dari orang tua gue, tapi apa? Hasilnya nihil," Sham mulai tertawa pedih, "lagipula gue mati juga gak bakalan ngerasain sakit. Seharusnya lo juga begitu, Rai, saat gue sakitin lo."

Raina mengangkat lengkungan bibirnya dan menatap Sham yang kini memang terlihat beda dari biasanya. Dia bukanlah Sham yang ia kenal dan Raina sekarang mengerti wajah dibalik seseorang yang ceria. Mereka menyimpan banyak luka yang terpendam.

"Iya Sham. Tadinya gue mau mati aja tapi gue pikir-pikir kasihan orang tua gue, mereka sayang banget sama gue dan kalo gue sampe kenapa-kenapa mereka khawatir. Gue gak mau jadi anak durhaka. Gue mau bahagiain mereka selagi mereka masih hidup dan gue mampu."

"Mati itu bukan berarti semua berakhir, masih ada tahapan yang gak akan lo duga. Berpikirlah sebanyak mungkin. Lo stress, tapi jangan bikin raga lo juga sakit," lanjut Raina.

Naya yang mendengar seluruh percakapan opini itu mulai mengangguk membenarkan semua perkataan gadis di sampingnya. "Mendingan kalian ngobrol di tempat lain. Gue sama Arga mau ngobrol sesuatu."

Naya menarik tangan Arga ke suatu tempat dan meninggalkan dua orang yang berargumen tentang orang tua.

Saat di sebuah tempat, Naya melepaskan genggaman itu.

"Kamu mau ngapain, sih? Gimana kalo mereka sampe berantem," ucap Arga cemas.

Naya meletakkan kedua tangannya di bahu Arga. "Naya tahu kalo sebenarnya Arga cemburu, kan, sama mereka? Sok-sokan gak peduli tapi nyatanya peduli."

"Nggak."

"Iya. Kalo gak kenapa masih peduli mereka berantem atau gak disana? Gak usah bohong." Naya terkekeh dan melipat tangannya.

"Lagian juga kamu kenapa harus ikut campur diurusan mereka?"

"Urusan mereka juga urusan aku."

"Maksudnya?"

Naya menghela napas dan membuang muka. "Mantan sahabatnya, Zita. Dia juga teman aku saat di Eropa kemarin."

"What the---? Demi apa? Seriusan?"

Bola mata Naya menatap Arga malas. "Iya seriusan, dia pindah ke Eropa karena dia merasa bersalah banget sama Raina. Dari awal sampai akhir dia ceritain semua."

"Terus?" tanya Arga penasaran.

"Waktu di lorong kanting ujung Kak Shamuel dan Zita emang ada di sana, tapi Raina sangkanya kalo Kak Shamuel jebak dia biar bisa sama Zita. Padahal nyatanya mah nggak, Zita cuma bicara jujur aja kalo dia suka juga sama Kak Shamuel, tapi akhirnya Zita terima juga mereka barengan."

"Habis itu Raina salah paham dan jauhin Zita sekaligus Kak Shamuel setelah perpisahan sekolah," lanjut Naya.

Sepanjang cerita yang dilalui, Arga hanya mengangguk dan menyimak semuanya, ternyata benar selama ini keduanya tak salah hanya salah paham saja.

"Lalu besoknya Raina kejar Kak Shamuel, tapinya Kak Shamuel gak denger dan lanjutin jalannya. Tiba-tiba hujan deres, tuh, barengan Raina nangis dan Zita dateng. Mungkin itu yang buat Raina benci hujan, karena mantan sahabatnya itu khianatin dia dengan kalimat menusuknya sekaligus berakhirnya persahabatan mereka."

"Namun, Zita merasa bersalah banget saat pulang. Dia coba hubungin nomer Raina tapi selalu gak bisa," lanjut Naya.

Arga menopang pipinya dengan tangan kiri sambil menatap Naya yang tengah bercerita masa lalu Raina, tanpa disadari juga hati itu terbuka lagi setelah beberapa kurun waktu ia kunci.

"Jadi, kamu ke sini buat selesain masalah mereka? Sok baik banget kamu, ya." Arga menoyor kepala Naya.

Naya mengelus kepalanya dan mencebik bibirnya kesal. "Awalnya kan aku mau ketemu kamu, Ar. Nay, kangen." Tanpa aba-aba Naya langsung memeluk erat Arga.



Kraaakkk!




Mereka melepaskan pelukannya setelah mendengar ranting patah lalu melihat ke belakang.

"Raina?" gumam Arga.

"Sorry, gue ganggu kalian. Gu---gue pul---pulang duluan." Gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah melepas rindu.

Arga menatap Naya. "Kenapa? Kalo kamu suka kejar, jangan diem aja. Katakan semua yang kamu rasain." Naya menggenggam tangan besar itu untuk meyakinkannya.

Arga tersenyum dan mengejar gadis yang sedang berlari karena tak sengaja menginjak ranting pohon.

Kalau sakit kenapa masih bertahan. Kalau sesak kenapa masih peduli. Kalau pedih kenapa masih berharap. Kalau dia gak suka kenapa masih suka.

Kini gadis itu menangis sesak. Langkahnya terseok-seok karena tak fokus hingga terjatuh.

Saat terjatuh ada seseorang berjongkok di depannya sembari mengulurkan tangannya. "Jangan cengeng, gue gak ada tisu." Raina menengadah dan melihat cowok yang ia hibur tadi.

Sham tersenyum masih dengan uluran tangan. "Ini gak mau dijabat? Pegel lho gue kayak gini."

Raina membalas uluran tangan itu dan mereka duduk di trotoar yang sepi. "Thanks."

"Kembali kasih." Cowok itu tersenyum.

Lain lagi dengan cerita cowok yang mengejar gadis berlari tadi. Ia berhenti dikejauhan saat menangkap pemandangan yang lain, gadis itu tersenyum dengan Mataharinya.

Cowok itu berbalik arah.

Saat kau bersamanya bagaikan Matahari dan Bumi yang saling membutuhkan, namun denganku kau selalu menangis layaknya rintikan air hujan yang turun ke Bumi. Selalu ... begitu.

Pengagum Rahasia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang