Fathanwv :
|Gw sebenernya dipukul sma Sham.
|Gara2 salah paham doang.Zahraaa :
Mksd lu apa? Gw gak paham.|Fathanvw :
|Pokoknya klo ada org yg nanya jgn percaya, bilang itu smua hoax.
|Sham itu licik sama gue.
Ini sih namanya tuduh orang tanpa bukti. Gue gak nyangka Fathan bakalan selicik gini, parah banget. -Raina.
Zahraaa :
Sham?|
Emg lu pukul Fathan?|Shamuel :
|Hah? Kalo gw pukul bkn berarti gw yg mulai duluan.
|Lu salah paham tau gak.Zahraaa :
Tapi kan gk juga mesti pake kekerasan, Sham.|
Gw juga gak suka sma cowok yg kasar. Bisanya main pukul aja.|Shamuel
|Risiko main sama anak taekwondo begitu, lagian lu dpt dari mana infonya?
|Skrg mau lu apa? Baikan sama Fathan?Setahu gue Sham gak bakal mulai duluan kalo orang itu gak mulai semuanya. Ya ampun ... Zahra terhasut omongannya Fathan ini mah.
Ceklek!
Pintu terbuka memunculkan sosok gadis membawa nampan minuman, benda itu Raina lempar ke atas kasur.
Zahra tersenyum. "Ini minumannya."
Spontan Raina menjawab, "Terimakasih Zahra."
Apakah Raina harus membahas pesan itu?
Atau tidak sama sekali?
Malam bertabur bintang dengan pelengkap bulan purnama yang terang menerangi langit.
Raina memutuskan untuk menginap dan akan mencari tahu lebih banyak lagi, pasalnya Zahra tak mau bercerita sedikitpun.
Raina terduduk di karpet berbulu dan menjulurkan kakinya. "Zah, kalo ada apa-apa cerita, ya. Bukan gue buat maksa lo tapi kita cuma berdua yang utuh, lagi pula lo mau cerita ke siapa lagi selain ke gue," Ia melirik Zahra di sampingnya, "apa gunanya teman kalo cuma di samping lo terus?"
"Gue kangen kita berlima," Zahra menghembus napasnya pelan dan matanya mulai berkaca-kaca, "kenapa sih Aqila sama Dhania harus ribut mulu? Kenapa mereka gak bisa akur? Kenapa? Kenapa, Rai?" Ia menutup matanya lalu sebulir air mata jatuh.
Tak cuma si pembicara tetapi si pendengar juga merasakan hal yang sama, mungkin seandainya kalimat itu bisa terulang pasti baik-baik saja.
"Gue tahu kasus mantannya Dhania yang belum selesai itu, Dhania belum move on dari orang itu. Tapi apa harus Aqila jelekin Dhania mulu? Hah?!" ucap Zahra.
"Mantannya emang cowok gak jelas, brandalan, pernah kegep ngerokok di belakang sekolah tapi dengan butanya cinta Dhania masih belain cowok itu," lanjutnya.
Satu kata boleh gak? Na ... jis? -Raina.
Raina berusaha menenangkan sahabatnya, mengelus punggungnya bahwa ia tak sendiri. "Siapapun teman kita dan gimana sifat dia, sekalinya teman tetap teman. Tapi kalo dia udah fatal gue gak bisa menjamin dia teman kita."
"Sama kayak lo ke gue, Zah. Gue mungkin percaya kalo lo baik-baik aja tapi sekalinya lo sembunyiin suatu masalah pasti gue akan cari tahu," lanjut Raina.
Zahra yang tadinya menunduk kini mendongakan kepalanya. "Sebenarnya gue mau cerita tentang itu, Rai, tapi ada satu orang yang larang gue," ucapnya sesegukkan.
"Siapa dia?" Raina mengulangi pertanyaannya---lagi.
Gadis itu mencoba untuk tenang dan mengeluarkan unek-uneknya, meski cowok itu akan mengancamnya lagi. Bagi Raina itu bukan sebuah kejutan melainkan kejujuran.
"Fathan ngancem gue buat bilang ke orang lain kalau itu hoax tapi gue gak yakin. So---so---soalnya Sham gak pernah buat sekeras itu."
"Gue juga gak yakin, Zah. Soalnya gue tahu semua sifat Sham dari masih Sekolah Dasar, dan dia juga gak akan mulai duluan," jelas Raina menatap lawan bicaranya dengan serius.
Zahra mengangguk dan tersenyum sembari berdiri. "Gue mau keluar beli makan malam, lo mau ikut gak?"
Zahra menjulurkan tangannya kepada Raina yang masih terduduk rapi lalu dengan cepat gadis itu menerima ulurannya. Kondisi cuaca di luar masih dingin mengingat tadi sore turunnya hujan membuat jalanan basah.
Gadis bersurai hitam legam itu memakai cardigan panjang berwarna ungu yang ia pakai tadi saat menuju ke sini, sama dengan gadis beralis tebal memakai jaket cokelatnya.
Mereka berdua berjalan menuju supermarket terdekat sambil berbicara mengenai pelajaran sekolah yang akan usai tersebut. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka sampai.
Tetapi, ada satu hal yang membuat mereka terkejut.
"Maksud lo apa ngehasut Zahra biar benci sama gue?" tanya orang itu, seperti marah.
"Gue dendam sama lo karena lo curang, gak sportif mainnya," jawab orang satunya lagi sambil mendorong bahu lawannya.
Namun, hampir saja cowok tersebut tersungkur ke sebuah selokan. "Weitss ... bro, hati-hati dorongnya ntar gue bisa jatoh."
"Apa peduli gue?"
"Lo sebenernya kenapa dah? Awalnya baik sama semua orang tapi ternyata sifat asli lo begini, gimana kalo satu sekolah tahu hah?"
Ditempat lain mereka mengintip dari dinding besar. "Zahra, kayaknya sekarang waktunya buat membuka mulutnya pelaku itu." Zahra yang berada di depannya mengangguk pelan---mengerti.
Di sana sudah terjadi aksi dorong mendorong hingga si korban jatuh berkali-kali, karena tak tahan melihatnya Zahra langsung memasuki ke TKP.
"UDAH UDAH. STOP KALIAN! NGAPAIN KALIAN BERANTEM DI TEMPAT UMUM, HAH? KALIAN GAK MALU? SEKALIAN AJA KALIAN TELANJANG SANA," teriak Zahra emosi.
Kedua cowok itu langsung berhenti lalu spontan melihat Zahra dengan pandangan terkejut diikuti oleh Raina di belakangnya.
"Zahra?" ucap Fathan dan Sham berbarengan.
"Kalian udah dewasa, ngapain berantem? Kalo ada masalah omongin baik-baik," Zahra melirik Fathan, "lo, Fath. Gue kira lo bisa jadi temen yang baik tapi ternyata lo licik dan hasut gue supaya benci dengan Sham. Bener kata Raina kalo lo yang mulai semuanya," lanjutnya.
Raina berdehem. "Gimana kalo perbuatan lo tadi gue laporin ke BK? Biar bisa jadi bahan pertimbangan yang bagus." Ternyata gadis itu merekam dengan baik diponselnya.
Tangan panjang Fathan mulai meraih benda tersebut, mungkin mau menghapus video itu. "Hapus gak!" bentaknya.
"Biasa aja dong, santai kayak di pantai."
Lalu cowok itu pergi dengan kemarahannya yang membludak.
Untuk hal ini Mission Completed.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengagum Rahasia ✔
Teen FictionCerita ini akan mengantarkanmu mengapa seseorang bisa menjadi 'Pengagum Rahasia' dan kenapa rasa suka terhalangi oleh luka lama? Demi mengungkapkan kebenaran 'mantan sahabatnya' ia harus rela berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu itu dulu menjadi...