26. Jangan Terlalu Berharap

924 49 0
                                    

"Pssstt ... jangan berisik. Nanti kita ketahuan sama mereka," bisik seseorang yang membekap mulut Zahra

Yang Zahra lakukan sekarang adalah memejamkan matanya ketika segerombolan orang itu melewati tempat persembunyiannya di balik tanaman besar.

Zahra juga tak berani melihat orang yang berada di sebelahnya, tapi sepertinya dia orang baik-baik walau wajahnya itu tertutupi oleh topi hitamnya.

Saat Zahra menoleh ke arah mereka pergi, akhirnya mereka tak terlihat dan pergi cukup jauh.

Zahra menarik napas lega karena malam ini ia bisa bebas. Rasanya Zahra ingin berterimakasih pada orang yang menyelamatkannya malam ini.

Gimana caranya berterimakasih, ya? Gue aja gak tahu dia Bapak-Bapak atau Abang-Abang.

"Hmm ... terimakasih, ya, udah selamatin saya dari kejaran mereka tadi." Zahra tersenyum dan membungkuk sopan.

Orang itu hanya mengangguk tanpa suara.

"Kalau begitu saya langsung pulang aja. Terimakasih atas kebaikan anda, maaf dan terimakasih sekali lagi," ucap Zahra dan keluar dari tempat persembunyian.

Ketika Zahra keluar, orang itu bersuara, "Gak usah terlalu banyak berterimakasih, kalau gue gak datang pada waktu yang tepat mungkin lo udah diapa-apain sama mereka." Suaranya seperti Zahra kenal.

Segera Zahra berbalik badan dengan hal yang sama orang itu melepas topi hitam miliknya, lalu tersenyum.

"Gue anterin pulang, lo cewek gak baik malam-malam jalan sendirian," ucapnya lagi.

Kenapa gue ketemu dia lagi di setiap malam? Pokoknya gue gak suka lihat dia. Benci ihhh.

Atau setelah senja yang indah akan ada malam yang dingin namun hangat didalamnya?

Apaan, sih, Zahra? Lo lagi halu kali. Bisa-bisanya khayalin orang kayak dia, gak banget deh.

Tangan besar yang melambai-lambai di depan wajah Zahra membuatnya tersadar dari argumen oleh diri sendiri. Dengan cepat gadis itu menggeleng kepalanya.

"Jangan melamun gak bagus."

"Iya, lagian lo kok bisa berkeliaran di sekitar sini? Rumah lo sama gue kan jauh," Zahra berpikir, "atau jangan-jangan lo kabur lagi dan curhat ke gue, gak berubah lo."

"Nggak."

"Terus?"

"Emangnya juga kalau gue ada di sekitar sini masalah buat lo?"

Zahra menggeleng.

"Nggak, kan? Ya udah repot amat."

"Ya udah, gue mau pulang. Bye." Zahra berbalik badan dan melangkah dengan sangat cepat untuk sampai ke rumah.

Namun, manusia itu tetap saja mengikuti Zahra dari belakang. Mentang-mentang langkah kakinya lebih besar dari Zahra bisa-bisanya dia mengejar gadis itu.

Zahra berhenti. Iyalah berhenti, sudah sampai di depan rumah. Sham? Iya, berhenti juga. Zahra menoleh ke arahnya dan mengusirnya dengan cara halus; memakai isyarat tangan.

"Oke, gue pulang."

Dan Sham pergi sejauh mata memandang. Lalu, tantangan terbesar ada di depan mata; pagar sudah dikunci, lampu dalam rumah sudah dimatikan, dan sepi pasti sudah pada tidur.

Pertama, Zahra harus memanjat pagar yang hanya setinggi pundak orang dewasa. Gampanglah cuma panjat doang.

Kedua, pintu rumah sudah dikunci dan biasanya kunci cadangannya disimpan di bawah keset atau dikubur di tanah pot. Biasanya, tapi tidak tahu kalau sekarang.

Di keset tidak ada dan di tanah pot juga tidak ada. Sebentar ....

Kalau Ayah gak taro kunci diantara dua itu pasti Ibu yang kunci terakhir kali.

Nah, biasanya Ibu taro di dalam sandalnya Adik. Hmm ....

Mana ya?

Oh, ini dia ketemu.

Langsung saja kumasukkan kunci itu.


Ceklek!


Akhirnya terbuka juga pintunya, lalu Zahra masuk dan mengunci pintunya lagi. Ia berusaha masuk ke kamar tanpa ketahuan oleh Ayah dan Ibu.

Tetapi ....


Klik!


Lampu utama nyala dan memperlihatkan Zahra yang seperti maling di rumah sendiri. Di sana Ayah melipat tangannya dan memandang Zahra dengan tatapan penuh amarah.

Ayah, aku minta maaf.


%♡%




"HAH? SHAM SAMA ZAHRA DUA-DUANYA GAK MASUK BARENG?" teriak Raina setelah mendengar cerita Viola bahwa kedua makhluk itu tak masuk pada hari yang sama.

"Shuutt ... lo berisik banget, ya," lirih Viola dengan jari telunjuknya dibibir.

"Gak mungkinlah mereka gak masuk barengan," bantah Raina, "jangan kayak geng cabe di sini, deh, yang bisanya cari gosip terbaru dan temannya sendiri juga dijadiin gosip saking gak ada topik," lanjutnya.

"Ihhh, bukan gitu maksud gue, tapi gue denger dari anak-anak kalau Zahra itu diajak jalan sama Mika."

"Mika? Kok bisa? Padahal gue udah larang Zahra buat gak berhubungan dengan cowok itu. Ish, dia mah batu banget jadi orang."

"Yeeee mana gue tahu. Sewot banget jadi orang."

"Gue gak suka aja gitu Zahra sama Mika, lo tahu kan kalau Mika itu hampir pacarin semua anak cewek di kelas kita dulu. Dan gue bisa yakinin kalau dia cuma mainin perasaan perempuan doang."

"Merasa menyindir diri sendiri, ya, Mba?" Viola menatap Raina dengan tatapan smirk-nya.

Raina menggeleng. "Nggak."

"Ahhh yang bener kamu?" Tatapannya semakin menjadi.

Dengan ditatap oleh tatapan seperti itu, Raina menutup wajahnya dengan kedua tangannya berusaha menutupi pipi meronanya. "Nggak, Viola."

"Oh, ya udah."

"Terus, hubungannya Zahra sama Fathan gimana?" tanya Viola.

Raina mengangkat kedua bahunya. "Gak tahu. Yang pasti Zahra belum bisa move on," Lalu menarik napas dalam-dalam, "mungkin lucu, ya, kalau kita minta lebih perasaan seseorang yang kita sukai sama setimpalnya dengan perasaan kita," lanjutnya dan melirik Viola yang menatapnya dengan kening berkerut.

"Udah, cowok mah gak usah dipikirin. Pikiran aja ulangan buat minggu depan."

"Oh iya, cowok bisa kapan-kapan ya dipikirinnya." Raina mengangguk.

"Iyalah, ngapain juga kita harapin yang gak bakal keharap juga sama kita. Mendingan harapin juara kayak juara harapan I, juara harapan II, juara harapan III."

"Oke siap."

Fokus untuk ulangan saja, ya, biar bisa banggain orang tua dulu.

Pengagum Rahasia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang