Halaman 16

3.3K 193 0
                                    


UNEDITED

Andrew tidak tau apa yang dipikirkan olehnya sampai-sampai  ia melakukan hal yang tidak pernah diperbuat olehnya. Menyiapkan makan malam istemewa bukan hal mudah untuknya. Ia lebih memilik untuk membawa para wanita makan di restoran mewah yang sudah dihias dengan indah. Dari pada menyusahkan dirinya sendiri seperti ini. Pengecualian untuk Ruth, membuatnya bertanya-tanya. Mengapa ia harus melakukan hal merepotkan seperti ini? Dan dia tidak pernah menyesali apa yang dilakukannya.

Andrew dan Ruth menikmati makan malam sambil membicarakan apapun. Termasuk antusiasnya wanita itu ketika belajar membuat kue bersama Laurent.

Apa yang dilakukan oleh Andrew tidak direncanakan sebelumnya. Hal ini terjadi secara spontan saat dirinya sedang bosan di ruang kerjanya. Mendapat kabar bahwa Ruth berada di kedai kue Laurent, membuatnya menyusun semua rencana malam ini di ruang otaknya. Dan dirinya berhasil melibatkan Laurent melalui Evans.

"Aku tidak pernah mendapatkan kejutan sebelumnya," kata Ruth.

"Percayalah sayang, aku tidak pernah membuat kejutan sebelumnya."

Ruth menatapnya sebelum berdecih. "Dasar pembual. Bagaimana bisa kau melakukan ini tanpa pengalaman sebelumnya, Rusell."

"Karna aku memang mampu membuat apapun yang aku inginkan, Smith."

"Satu yang ku tahu darimu. Kau selalu percaya diri dalam keadaan apapun."

Andrew tersenyum. "Begitulah diriku."

Andrew membiarkan Ruth membawa seluruh alat makan kotor ke dalam bak pencuci piring, di saat mereka sudah menghabiskan makanannya. Dari balik pantri ia memandangi Ruth yang bergerak untuk mencuci piring. Pinggul wanita itu bergoyang, mengikuti gerakan yang dibuatnya. Sesekali tangan Ruth menyelipkan rambut-rambut nakal yang terus saja menggangunya.

Ruth sangat menggoda dalam kondisi apapun. Wanita itu selalu membuatnya berdecak kagum. Ketika kulit itu menyentuh dirinya, tanpa sadar Andrew selalu menahan nafasnya. Sadar bahwa pengaruh Ruth pada reaksi tubuhnya sangat mengganggu Andrew namun selalu dibutuhkan oleh Andrew sendiri.

Andrew berjalan menghampiri Ruth yang baru saja selesai mencuci piring. Kedua tangan Andrew menyusup di antara lengan dan pinggang, memeluk Ruth dari belakang dengan dagu yang bertopang pada bahu terbuka wanita itu. Aroma jeruk manis bercampur adonan kue membuat kepalanya terasa ringan. Rasanya Andrew ingin pingsan dan berada di pelukan wanita itu selama mungkin.

"Aku tidak tau mengapa aku melakukan sesi bercerita seperti ini. Biasanya aku tidak suka bercerita, tapi aku ingin melakukannya bersamamu, Ruth." Andrew berkata dengan nafas yang tidak teratur.

Ruth berbalik. Kedua tangan wanita itu menangkup wajahnya. Mata menghipnotis Ruth kembali mempengaruhinya. Membawanya dalam euforia menyenangkan yang selalu diidamkan oleh pria mana pun.

"Aku juga tidak tau mengapa aku menyetujui rencanamu, Andrew." Lalu Ruth tertawa.

Andrew membawa Ruth berjalan menuju sebuah pintu di ujung ruangan. Ketika pintu dibuka, menampilkan ruangan besar yang hanya diisi oleh piano berwarna hitam beserta kursinya di tengah ruangan. Selebihnya kosong, tidak ada apapun. Sofa, meja atau pun furnitur lainnya.

***

Ruth bingung ketika mereka hanya mendapati ruangan yang lebih didominasi dengan kekosongan. Lampu remang yang hanya memancarkan sinarnya ke arah piano membuat kesan intim di antara mereka.

Andrew menatap wajahnya sebelum membawanya masuk ke dalam ruang tersebut. "Tempat ini benar-benar kosong," komentar Ruth.

"Aku memang sengaja membuatnya. Kurasa terkadang seseorang butuh ketenangan."

"Dan kita menbutuhkan ini?"

Andrew mengangguk. "Tentu saja. Harus ada ketenangan sebelum kita bercerita, sayang."

Ia dan Andrew berhenti di depan piano besar yang di beli langsung---oleh Andrew---dari Belanda. Andrew duduk di kursi kecil di depan piano besar. Sedangkan dirinya, berdiri di hadapan pria itu. Bersandar pada piano tersebut, hingga telapak tangan'nya yang mengenai tuts nada, menimbulkan bunyi yang menggema.

"Mulailah Andrew. Kau yang memiliki ide itu."

Andrew bedehem. "Namaku Andrew Rusell, tentu saja."

"Ceritakan yang lainnya, Rusell. Tentang kehidupanmu, orang tua atau pun keluargamu yang lainnya."

Pria itu terkekeh. Tangan Andrew melingkar di pinggangnya. "Baiklah, aku mengerti."

Ruth tidak tau apa yang sekarang ia rasakan, ketika tatapan dan senyum Andrew tertuju kepadanya. Darahnya berdesir kuat. Jantungnya berdetak tidak teratur. Perutnya merasa geli. Kepalanya merasa ringan, dah tubuhnya seakan melayang-layang tinggi di udara seperti kapas.

"Ayahku bernama, James Rusell. Sedangkan ibuku bernama Elena Rusell. Keduanya berkebangsaan Skotlandia, sama seperti diriku. Tapi sejak kecil aku sudah memiliki jati diri sebagai bangsa Amerika. Aku memiliki dua kebangsaan sekaligus karena kehidupanku. Orangtuaku memutuskan pindah ke Seattle sebulan setelah aku menginjak sekolah dasar. Hingga menengah atas, aku bersekolah di sini. Ketika masa kuliah, aku memutuskan untuk bersekolah di Harvard dan orangtuaku memutuskan untuk kembali ke Skotlandia. Aku juga memiliki seorang kakak dan adik perempuan. Kakaku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Australia. Sedangkan adikku menemani kedua orangtuaku di Skotlandia."

Ruth menatap Andrew yang tersenyum sambil menceritakan keluarganya. Pria itu sangat beruntung, berbeda jauh dengan dirinya yang harus bekerja sebagai pelacur dan tinggal seorang diri tanpa keluarga. Ruth masih ingat bagaimana keadaannya bersama orangtuanya. Bagaimana ayahnya memperlakukan dirinya dengan sangat buruk. Bagaimana pria yang tak pantas disebut ayah, menghancurkan hidupnya. Semuanya bermula dari ayahnya. Ayah yang memandang putrinya sebagai barang penghasil uang.

"Lalu bagaimana kehidupanmu?"

"Aku Ruth Smith. Aku lahir di Prancis dan besar di sana sebelum lima tahun yang lalu aku berada di Amerika. Ibuku bernama Marlenne Smith Lambert, berkebangsaan Inggris."

"Lalu siapa ayahmu?"

Sial. Mengapa Andrew bertanya hal yang tidak perlu ia jawab. Ruth sangat membenci ayahnya. Membicarakan topik mengenai pria brengsek itu akan membuat luka di hatinya semakin membesar dan berakibat dirinya semakin membenci ayahnya sendiri. Ayahnya benar-benar pria terburuk yang pernah ia kenal.

"Siapa nama ayahmu, sayang?" Andrew bertanya sekali lagi.

"Theodore Lambert," ada luka yang terbuka lebar ketika ia menyebutkannya.

"Aku baru tau kau berasal dari Prancis. Nama mu seperti orang-orang Amerika."

"Aku memang mengganti namaku." Andrew sepertinya terkejut dengan fakta yang beru saja ia buka. "Kau terlalu misterius, Ruth."

"Lalu mengapa kau bisa berada di Amerika?"

Ruth tidak tau apa yang harus ia jelaskan kepada Andrew. Pria itu memasang wajah yang penuh tanya. Mengatakan jawaban yang diinginkan Andrew, membuat dirinya kembali mengingat perlakuan buruk ayahnya. Tapi jika ia tetap berdiam diri, itu juga tidak ada pentingnya. Akhirnya Ruth tetap memberitahu Andrew, walaupun terasa berat. "Setahun setelah ibuku meninggal, ayahku yang pemabuk dan suka berjudi memiliki hutang besar kepada bandar judi di sebuah kasino. Orang-orang selalu mengejarnya. Aku berusaha membantunya dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu. Tapi suatu malam aku tidak menyangka, bahwa dirinya menjual putrinya sendiri sebagai pelacur dan mengirimku ke Vegas. Rosela, wanita yang membeliku dari ayahku, membiarkan aku keluar dari tempatnya setelah tiga tahun bekerja di bawah naungannya. Akhirnya aku bekerja sebagai wanita pemuas yang bebas. Yang ingin menjajakan diriku di pinggir jalan atau bar maupun kasino."

"Kisah yang menyedihkan bukan," sambung Ruth.

***

Kalau ada salah penulisan kata ataupun peletakan tanda baca, sialahkan tulis di kolom komentar ya..

Pretty Woman (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang