Halaman 26

2.2K 174 3
                                    

Ruth berjalan di trotoar sambil menarik kopernya. Ruth tidak tahu kemana ia harus pergi sekarang. Hatinya masih terasa sakit ketika perkataan Andrew beberapa waktu yang lalu, kembali membayanginya. Ruth tidak pernah sesakit ini saat orang mengatainya sebagai pelacur, karena itu memang pekerjaannya. Tapi Andrew, pria itu berhasil menyakitinya.

Akhirnya, Ruth memutuskan untuk kembali ke kedai Laurent. Ia memberhentikan taksi yang melintas di depannya, dan menyebutkan alamat kedai Laurent.

Kepalanya berseder pada jendela sambil sesekali mengusap air matanya yang tak berhenti keluar. Ternyata ini rasanya diterbangkan terlalu tinggi lalu dijatuhkan ke dasar laut terdalam. Ruth merasa jiwanya seakan keluar dari raganya. Apa ini yang dinamakan patah hati?

Ruth masih tidak melakukan apa pun ketika taksi berhenti di depan kedai Laurent.

"Kita sudah sampai, Miss."

Ruth tetap diam tak berkutik.

Akhirnya si supir taksi menyentuh lutut Ruth, sambil menggoyang-goyangkannya. Refleks Ruth menarik kakinya, rasanya sentuhan seperti itu kembali mengingatkannya akan kejadiaan yang baru saja menimpanya.

"Apa yang kau lakukan?!" jerit Ruth.

Supir taksi tersebut terkejut. "Maaf nona, tapi kita sudah sampai."

Ruth menatap sekitarnya. Benar saja, taksi yang ditumpanginya sudah berada tepat di depan kedai Laurent. "Maafkan, aku." Ruth memberikan beberapa lembar sebelum membuka pintu.

Ruth mendapati Laurent yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa beberapa kue yang mungkin saja, baru diangkat dari pemanggangan. Ia meletakkan kopernya di penitipan barang sebelum berjalan menghampiri wanita tua itu.

"Mama!" Ruth menangis di pelukan Laurent.

Laurent memeluknya erat. Wanita itu menepuk-nepukan tangannya di punggung Ruth, sambil sesekali mengelus rambutnya. Setidaknya apa yang dilakukan Laurent berhasil membuatnya sedikit tenang.

Laurent membawanya ke dalam dapur sebelum berbelok ke lorong kanan yang tidak diketahui oleh Ruth. Wanita itu menyentuh sesuatu di dinding kayu, hingga membuat dinding tersebut terbuka sempurna. Ruth terkejut tentu saja, tapi Laurent segera membawanya masuk.

"Aku selalu ke sini jika aku merasa lelah." Laurent membawanya duduk di sebuah kursi kayu dengan sandaran bantal. Wanita tua itu memberikannya segelas air, sebelum duduk di hadapannya.

"Menangislah jika itu membuatmu merasa lega, sayang."

Ruth menangis tanpa suara. Ia terlihat seperti orang gila dengan mata hitam yang memerah. Wajahnya dibenamkan di bahu Laurent dengan kedua tangannya yang memeluk tubuh wanita itu.

Laurent menghapus sisa-sisa air mata di wajah Ruth, di saat wanita itu berusaha menghentikan tangisnya. "Jadi ada apa dengan putri, mama?"

"Aku dan Andrew bertengkar, ma."

"Jenis bertengkar apa yang kau maksud? Apa ini alasanmu pergi dari Seattle, seperti yang kau katakan tadi pagi?"

"Tidak, ma. Pertengkaran kami terjadi beberapa jam yang lalu."

"Apa yang menyebabkan kalian bertengkar?

Ruth menggeleng. "Aku tidak tahu, mama. Tapi Andrew, sepertinya tidak menginginkanku lagi."

"Apa yang sebenarnya terjadi, sayang? Aku tahu kau tidak mengatakan semuanya kepadaku."

Suara Ruth tercekat ketika menceritakannya. "Rekan kerja, Andrew berkunjung dan tiba-tiba saja pria itu menciumku. Lalu, Andrew datang dan memukulnya. Pria itu mengatakan kalau aku pernah tidur dengannya. Walaupun itu benar, tapi percayalah mama, kejadian itu sudah berlalu sebelum aku mengenal Andrew. Andrew marah kepadaku, dan kami bertengkar." Ruth bercerita dengan menghilangkan kalimat 'pelacur'

Berbanding balik dengan suasa hati Ruth, Laurent tersenyum. "Dia cemburu, nak."

Ruth diam. Ia tercengang dengan kesimpulan yang diberikan Laurent kepadanya. Atas dasar apa Andrew cemburu kepada pelacur murahan sepertinya. Tidak mungkin bukan, Andrew jatuh cinta kepadanya. Setidaknya pria itu tidak akan berkata kasar, jika Andrew mencintainya.

"Jika itu memang benar, semuanya percuma mama. Aku sudah menghancurkan hubungan di antara kami."

"Apa kau tidak mau menjelaskan yang sebenarnya?"

"Aku sudah mencobanya, tapi Andrew tidak mendengarkanku."

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Laurent.

Ruth tidak tahu apa keputusannya ini sudah benar atau salah. Tapi cuma tempat ini yang menjadi tujuannya. "Aku akan kembali ke Vegas, mama."

Laurent terkejut. "Apa sekarang?! Bagaimana jika Andrew mencarimu? Kau bisa bermalam di rumahku untuk sementara waktu."

Ruth menggeleng. "Aku tidak yakin Andrew akan mencariku."

"Jika pun dia mencariku, aku tahu tempat ini akan menjadi tempat pertama yang dikunjunginya. Aku tidak ingin bertemu dengannya untuk sementara waktu, ma."

"Ma, apa boleh aku meminta bantuanmu?" sambung Ruth.

"Tentu saja, mengapa tidak? Katakan apa yang kau inginkan. Aku akan membantumu sebisaku."

Ruth tersenyum tipis. Ia sedikit malu untuk mengatakan ini. "Apa aku boleh meminjam uangmu untuk membeli tiket pesawat atau paling tidak bus. Aku akan menggantinya melalui rekening."

Laurent berlalu dari hadapan Ruth, tanpa mengatakan apa pun. Wanita tua itu mencari sesuatu di dalam lemari kecil dan mengeluarkan kotak kayu berukuran kecil yang terlihat tua. Laurent kembali mendekatinya wanita itu tersenyum hangat hingga membuat perasaannya sedikit tenang. Laurent mengeluarkan sejumlah uang dari kotak tersebut, lalu memberikannya kepada Ruth. Wanita tua itu menggenggam tangannya dengan salah satu tangan yang mengusap wajahnya. "Ambil ini, dan beli tiket peswat, sayang."

"Sebenarnya aku bisa naik bus, mama."

"Tidak. Kau pikir seorang ibu akan membuat anaknya merasa tidak nyaman walau itu hanya untuk berpergian. Beli lah tiket pesawat, Ruth."

Ruth memeluk Laurent singkat. "Terima kasih mama, aku pasti akan menggantinya."

"Aku lebih senang jika kau tidak mengembalikannya."

"Tidak, ma. Aku akan tetap mengembalikan uang mu."

Laurent tersenyum. "Terserah kau saja."

"Hubungi aku jika aku sudah sampai. Dan jangan lupa untuk mengunjungiku, jika kau ada waktu."

Ruth mengangguk patuh. Bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Pasti, mama."



Pretty Woman (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang