Halaman 28

2.5K 176 1
                                    

Hari-hari yang dijalani Andrew, tampak membosankan tanpa kehadiran Ruth di dekatnya. Ia tidak bisa tidur, lalu berangkat kerja hingga malam hari dan kembali tidak bisa tidur. Hal itu jauh sekali dari gaya hidupnya, di saat biasanya ia mencari jalang untuk menemaninya, tapi sekarang ia tidak melakukannya dan hanya diam di rumah atau tidak di kantor dan meminum beberapa botol bourbon arau jack daniels murahan.

Andrew membutuhkan Ruth. Ia merasa tidak dapat hidup tanpa kehadiran wanita itu. Ingin rasanya Andrew mencabut apa yang dikatakannya tempo lalu kepada Ruth. Andrew benar-benar kehilangan kesabarannya sampai-sampai ia sendiri tidak dapat mengontrol dirinya. Andrew sadar, harga diri wanita itu pasti terluka karena perkataannya.

Andrew sedang di jalan setelah menghabiskan makan siang bersama seorang klien di sebuah restoran. Ketika ia melewati kedai kue Laurent, sesuatu menariknya untuk singgah. Akhirnya, Andrew memberhentikan mobilnya di depan kedai tersebut. Saat Andrew masuk, ia tidak melihat Laurent di sekitar sini. Sepertinya wanita tua itu sedang melakukan sesuatu di dalam dapurnya, pikir Andrew.

Seorang pelayan wanita berumur awal dua puluhan dengan rambut pirang pucat, datang menghampirinya. Andrew menatap pelayan itu, ketika dia memintanya untuk menyebutkan pesananya.

Andrew berpikir apa ia salah melihat, ketika pelayan wanita tersebut terlihat terkejut di depannya. Atau wanita itu benar-benar terkejut?

"Ada apa?" tanya Andrew saat wanita itu hanya diam di depannya.

"Kau kekasih wanita itu kan?"

"Siapa?" Andrew mengerutkan keningnya.

Pelayan bernama Melisa tersebut, menggeleng pelan. "Aku tidak tahu siapa namanya. Tapi aku pernah melihat kalian makan di sini beberapa minggu yang lalu."

Andrew yakin, yang dimaksud oleh Melisa adalah Ruth. "Kau mengingat semua pengunjung mu?"

"Tidak juga. Aku mengenali kalian karena wanita itu sering datang kemari. Ia juga datang kemari seminggu yang lalu. Di pagi hari dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya, lalu sore hari dia datang sambil menangis."

"Untuk apa ia kemari? Apa ia memesan kue atau sesuatu?"

Melisa lagi-lagi menggeleng. "Tidak. Laurent membawanya ke ruang rahasia. Jadi tidak ada satu pun dari kami yang tahu apa yang mereka lakukan."

Andrew mengangguk. "Bisa kah kau memanggil Laurent untukku?"

"Tentu saja." Melisa tersenyum, sebelum menghilang di balik pintu dapur.

Andrew mengetuk meja menggunakan jari-jarinya. Entah mengapa ia merasa gugup untuk bertemu dengan Laurent. Rasanya seperti ia akan menghadapi amarah dari seorang ibu kepada pria yang telah menyakiti putrinya. Pikiran Andrew membawanya membayangkan Ruth yang datang ke kedai ini sambil menangis dengan koper di tanggannya. Wanita itu pasti akan terlihat sangat menyedihkan di mata orang-orang. Andrew tidak tahu kenapa ia marah kepada, Ruth. Wanita itu bukan siapa-siapa di hidupnya. Tapi saat melihat Richard yang brengsek, Andrew merasa seperti seorang pria yang dihianati kekasihnya.

Mengingat Richard, Andrew sudah memberikan pembalasan yang tidak setimpal kepada pria itu. Ia memutuskan hubungan kerja mereka yang bahkan baru saja berjalan. Perusahaan Parker mengalami kerugian besar. Tapi, tidak berarti apa karena nyatanya Richard masih berkeliaran di pertemuan bisnis yang terkadang dikunjungi oleh Andrew.

"Andrew," Suara lembut Laurent mengejutkannya dan menariknya dengan paksa dari pikiran alam bawah sadarnya. Wanita tua itu mengenakan baju terusan dengan model tua dengan rambut coklat madunya yang digulung ke atas. Bekas adonan kue terlihat di wajahnya yang keriput dan berpipi gempal. Senyum hangat khas keibuan membuat hati Andrew sedikit lega.

Andrew tersenyum tipis, "Laurent."

Laurent menarik kursi di hadapannya. Wanita itu melepaskan topi putih khas seorang koki yang melekat di kepalanya. "Apa yang membawamu kemari?"

"Tidak ada. Hanya berniat untuk singgah."

"Ruth juga datang kemari seminggu yang lalu." Laurent melambaikan tangannya memanggil Melisa yang berada di balik meja kasih dan menyuruh wanita muda itu untuk memberikan secangkir kopi kepada, Andrew.

"Apa kau ingin kue?" tanya Laurent.

Andrew menggeleng. "Tidak, terima kasih. Hanya kopi tanpa gue, please."

Laurent menatap Melisa. "Tanpa gula, Melisa."

"Jadi untuk apa Ruth kemari---maksudku dengan keadaan menangis. Aku tau dia memang sering menggunjungimu, Melisa mengatakannya padaku."

"Dia menceritakan semuanya," balas Laurent.

"Semuanya?"

Laurent mengangguk. "Ya. Semuanya yang terjadi di antara kalian?"

Andrew mengerutkan keningnya, merasa tidak yakin jika Ruth menceritakan segalanya. Apa Ruth memberitahu Laurent tentang hubungan mereka, awal pertemuan mereka atau profesi wanita itu sebagai wanita penghibur?

"Aku tahu kau marah karena melihatnya bersama pria lain. Tapi, kau hanya melihat dari sudut pandangmu, cobalah lihat dari sudut pandang yang lain. Biarkan Ruth menjelaskan segalanya, dan dengarkan." Andrew tahu ini memang salahnya dan ia menyesal. Ia begitu pengecut dan takut dengan fakta yang akan ia dengar, sehingga membiarkan dirinya sendiri terjebak dalam pemikiran konyolnya. Menyebabkan mata dan telinganya tertutup untuk mengetahui kebenaran. Mengabaikan Ruth, dan membuat wanita itu tersakiti.

Pembicaraan mereka terpotong dengan kedatangan Melisa yang membawa secangkir kopi, dan meletakkannya di hadapan Andrew. Wanita itu mohon undur diri setelah membungkuk kecil dan memberikan senyumnya.

Andrew tersenyum kecut. "Terkadang kebohongan lebih baik dari pada kebenaran yang menyakitkan."

Laurent tersenyum. Tangan wanita itu tergerak untuk mengelus lembut punggung tangan, Andrew. Wanita itu mengerti apa yang dirasakan oleh Anrdew dan Ruth. Mereka saling membutuhkan, menyanyangi tapi tidak sadar dengan perasaan masing-masing. Tidak ada yang dapat Laurent salahkan di sini. Karena keduanya sama-sama tersakiti. Dan Laurent mengerti ini.

"Aku tidak tahu apa yang membuat dirimu berpikir seperti ini. Tapi cobalah untuk berhenti menjadi pengecut, Andrew."

Andrew menatap sendu ke arah laurent. Rasanya ia ingin menangis, tapi semuanya percuma. Air matanya tidak akan menggembalikan Ruth ke sisinya. "Aku memang pengecut, Laurent. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku sudah menyakitinya dengan kata-kataku. Ruth tidak pantas mendapatkan seorang pria kasar sepertiku." Mengucapkan nama wanita itu membuat hati Andrew berdesir hangat.

"Kau mencintainya, nak?" tanya Laurent.

"Aku tidak tahu, Laurent."

Laurent menangguk mengerti. Andrew sama seperti Ryan---suaminya yang telah meninggal---sulit untuk menyadari perasaannya. Kehadiran Andrew membuatnya mengingat satu orang spesial yang telah hadir di hidupannya. "Aku yakin kau belum melakukan ini. Kau terlalu di butakan oleh amarahmu, hingga kau tidak akan berpikir untuk melakukannya."

"Apa yang tidak kulakukan?" tanya Andrew bingung.

"Memeriksa CCTV."

Pretty Woman (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang