SEORANG wanita bercadar tengah duduk diam menikmati rintik air hujan yang berpadu dengan angin berembus dingin di musim penghujan. Kala semua suasana di dunia begitu mendukung kisah lara dari kehidupannya. Air mata merembet turun dari sumber di pelupuk mata hingga menghilang terserap kain cadar hitamnya. Wanita itu tetap berdiam diri menatap langit mendung dari jendela kamarnya. Tidak memedulikan angin pengangkut rintik hujan menerpa diri. Ia merasa segala hal itu belum mampu meredakan laranya.
Sebuah ketukan di pintu kamar membuat ia menoleh sekejap, disusul dua jenis suara yang berasal dari orang yang berbeda. Ia mengembuskan napas dan memejamkan mata. Memilih untuk melangkahkan kaki mungilnya ke daun pintu dan menampakkan diri di depan seorang pria dan wanita paruh baya. Kedua orang itu merengkuhnya bersamaan.
“Jangan menangis di saat senja, kamu akan kehilangan kesempatan untuk menyapa Allah lebih awal dengan ceria.”
Wanita itu tersenyum di balik cadarnya. Lalu mendongak menatap pria paruh baya berjenggot putih yang masih merengkuhnya. Ia bergumam lirih, “lalu kapan aku bisa menangis, Abah? Jika saat fajar aku akan bersedih sepanjang hari.”
“Karena kamu tidak harus menangis di saat Allah menguji cintamu kepada-Nya. Air matamu tidak untuk hal-hal yang menyedihkan, Bidadari.”
Wanita yang tampak cantik bahkan dengan beberapa garis wajah tanda ia telah lanjut usia itu mengusap pelan kepala wanita bercadar. Ia menyunggingkan senyuman dengan tatap mata yang teramat meneduhkan, bahkan jika itu dibandingkan dengan kalimat-kalimat peneduh dari motivator terkenal sekalipun.“Menangislah karena kamu bahagia.”
“Lalu bagaimana aku harus menunjukkan jika aku terluka, Ummi?”
“Karena pada saat kamu terluka, biarkan kami yang menanggung lukanya. Agar kamu selalu bahagia.”
Wanita bercadar yang tengah berada pada pelukan pria terpanggil Abah itu menggelengkan kepala. Ia makin terisak, hingga tanpa sadar kakinya melemas menjelma menjadi kaki tak bertulang. Namun, ia tetap berada dalam rengkuhan Abah. Wanita yang dipanggil Ummi ikut merengkuh tubuh ringkihnya. Ia masih terisak.“Ummi, Abah.”
Kedua manusia paruh baya itu saling berpandangan, seolah tengan berkomunikasi dan saling mengiyakan bahwa putri tunggal mereka tengah sangat terluka. Meskipun, mereka tak mengerti hal apa yang membuat hati putri semata wayang mereka terluka begitu hebat. Bahkan lebih hebat dari efek saat putri mereka mendengar kabar bahwa pria yang dinanti telah menjadi suami wanita lain.
“Katakan apa yang buat kamu menangis!” Abah berujar tegas akhirnya. Ia tak sanggup mendengar rintihan kesakitan putrinya.
“Tidak, Abah.”
“Sayang,” gumam Ummi berusaha membujuk.
“Aku masih kuat menanggungnya.” Wanita itu berucap begitu lirih bahkan terdengar tak begitu meyakinkan.
“Ayo, kita bersiap sholat. Selepas itu katakan pada kami penyebab air matamu.”
Ia masih menggeleng kemudian mengulurkan kedua tangannya ke belakang kepala, bermaksud melepas ikatan cadar yang ia kenakan. Terlihat jelas bahwa wajah itu telah menyembap; mata berair; hidung memerah. Tapi, akan heran jika dilihat bahwa wanita itu justru menerbitkan senyuman lebar.
“Rasa sakit ini tidak sebanding jika aku harus melihat Abah dan Ummi bersedih.”
“Tapi—“
“Tenanglah, Abah. Bidadari Abah masih kuat menanggung lukanya. Bahkan jika demi itu aku harus menangis setiap hari. Tapi, aku yakin bahwa ketika aku menjadi hujan yang jatuh berkali-kali dan merasakan luka yang sama. Aku tetap bahagia, karena aku bisa menjadi penghapus kemarau karena Allah menghendaki demikian.”
“Syafakillah, Bidadari.”
Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantunkan lagu berharmoni syahdu. Wanita itu menoleh menatap jendela yang terbuka. Senja.
“Kalau kamu tidak kuat menanggungnya ….”
“Maka Allah akan menyembuhkan luka itu sebelum aku merasakan kepedihannya kembali.”
-Fin-
———————
Jangan lupa tetap jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama.Yuk, mampir ke cerita Fin yang lain. Pencet bintang putih di ujung kiri itu, ya, biar jadi jingga. ★★
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
SpiritualitéCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...