Aroma yang tiap saat sangat menenangkan ketika dihirupnya, lalu memenuhi tiap sudut paru-parunya, dan berhenti melingkupi seluruh hatinya dengan kebahagiaan, kini terasa menyesakkan. Detik demi detiknya terasa menyakitkan. Ia melihat pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Mata sayu dan kantung mata yang menghitam menjadi fokus dirinya. Lalu bibir pucat yang terlihat kering, hingga jika orang lain melihat wajahnya akan tahu dalam selayang pandang bahwa ia tengah sangat sakit.
Maira kembali memuntahkan cairan dari dalam perutnya ke closet di dekatnya. Lalu berjalan dengan sedikit membungkuk ke wastafel dan membasuh mulutnya. Jika, di hari hari sebelumnya, Ali yang melakukannya. Kini ia sendiri. Karena sudah lebih dari satu minggu pria berstatus suaminya itu tak menemuinya. Bahkan tak mengirim pesan, atau membaca pesan-pesan yang dikirimkannya.
"Maira, Sayang?" panggil seorang wanita.
"Ma?" lirihnya dengan suara serak, yang hampir menghilang.
"Muntah lagi?"
"Maaf, Ma." Ia berucap tapi tanpa suara, hanya gerakan bibir. Lalu wanita paruh baya itu mengembuskan nafasnya lelah. Ia menatap menantunya dengan khawatir, miris, dan prihatin. Cairan yang dimuntahkan perempuan itu pasti akibat dari gelas susu keempat yang dibawanya pagi ini.
"Kita ke dokter, ya, Sayang?"
"Ada kabar dari Abi, Ma?"
Reva meringis. Ia mengusap rambut panjang yang dulunya terasa sangat lembut dan hitam berkilau, tetapi kali ini terlihat sangat kusut. Wajah yang dulunya tembam merona dengan senyuman manis, tetapi kali ini terlihat mengkhawatirkan dengan senyuman lemah. Reva tak mengerti, ia ingin mencari keberadaan putranya, tetapi ia tak sanggup jika harus meninggalkan menantunya.
"Kita ke dokter dulu, ya, Sayang?"
Maira mengangguk.
"Ayo, Sayang. Mama bantu bersiap."
Maira mengangguk kembali. Bena yang menghantamnya akibat Ali, akan sangat bodoh dirinya jika hal itu menjadi alasan untuk ia menyia-nyiakan karunia Allah Maha Sempurna.
"Sayang, sehat selalu, ya? Ummi selalu coba untuk memberikan nutrisi yang cukup. Tetapi, entah kenapa selalu keluar kembali setelah beberapa saat masuk. Tetap sehat untuk Ummi, ya, Jagoan?" tuturnya lirih. Senyuman terbaiknya ia keluarkan, lalu hal itu justru membuat Reva yang menatapnya menangis miris.
Setelah ia selesai bersiap, dibantu Reva, Maira segera dituntun ke mobil. Kakinya terasa lemas, karena ia tak pernah makan dengan cukup. Ia selalu mencoba makan makanan atau meminum apapun yang disarankan dokter dan Reva. Tetapi, semuanya selalu bertahan sebentar, lalu keluar di menit berikutnya.
Maira merasa sangat bersyukur memiliki mama mertua seperti Reva. Wanita itu bahkan selalu ada untuknya, selalu memijit tengkuknya ketika mengalami morning sick, selalu mengusap kepalanya ketika ia tak bisa terlelap di tengah malam, dan melakukan hal lain yang harusnya dilakukan oleh Ali. Mengingat nama itu, ia terasa kembali sesak. Air mata selalu berontak dan berjejalan untuk keluar. Tetapi, ia menahannya, tak baik untuk janin jika ia terus bersedih.
"Ya Allah, lindungi calon anakku dari segala mara bahaya. Dan selalu lindungi suamiku dimana pun ia berada," mohonnya kepada Allah azza wa jalla.
Qhumaira: Abi, pagi ini aku muntah lagi. Untuk keempat kalinya.
Qhumaira: Abi, aku pamit check up ke dokter sama Mama, ya?
Qhumaira: Abi sudah sarapan?
Qhumaira: Abi kapan pulang? Maira kangen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
SpiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...