Sepuluh: Rasa dari Masa Lalu yang Tersimpan

2.5K 198 12
                                    

Vio Ketos: Lo yakin banget sama istri lo? Dia setia?

Vio Ketos: Istri lo pasti masih ada rasa sama masa lalunya. Ibrahim?

Suara seorang pria dari surau terdekat mendadak menyesakkan tiap sudut hatinya dengan rasa cemburu. Ditambah dengan segala pesan yang ia terima dari rekan SMA-nya. Dadanya makin bergemuruh dan tak tenang. Tetapi, suara merdu tilawatil Qur'an seorang perempuan yang selalu didengarnya tiap pagi dan malam itu menenangkan segala kecamuk itu.

"Fa inkhiftum allaa ta'diluu fa waahidatan."

Ia menggumamkan potongan dalam ayat yang beberapa saat lalu turut disenandungkan merdu oleh istrinya, Maira. Rasanya potongan ayat ketiga dalam Surah An-Nisa itu benar-benar menyindirnya telak. Ia mengingat kalimat itu, karena membaca kajian dari grup chatting-nya saat awal-awal ia bergabung. 'Tetapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.'

Seketika kepalanya menoleh dan mendapati istri cantiknya tengah menyelesaikan bacaan merdu yang sukses menohok batinnya. Tetapi, ia mengerti jika memang Allah azza wa jalla mengingatkannya kembali pada petunjuk-Nya melalui bacaan Maira. Ia tahu bahwa perempuan berbadan dua itu membaca surat itu, bukan karena perbincangan dini tadi. Namun, kuasa Allah membuat segalanya terjadi tepat pada waktunya.

"Shodaqallaahul 'adziim."

Maira menundukkan wajah, meresapi apa yang dibacanya. Ia merasa Allah telah membantunya menemukan jawaban dan keyakinan. Ia belum berbicara dengan Ali setelah perbincangan penuh keheningan sebelum ia ke kamar mandi sebelumnya. Karena saat ia kembali ke kamar, suaminya masih sibuk berkutat dengan ponsel yang entah mengapa menjadi begitu menarik minat suaminya. Ia memutuskan untuk berkasih dengan Kekasih-nya.

"Sudah rampung?" tanya Ali pelan. Sangat pelan hingga pantas disebut melirih. Tetapi, karena dini hari itu masih hening, suaranya jadi terdengar jelas dihantarkan udara ke gendang telinga. Maira hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.

"Mau ikut sholat Shubuh di musala?" Maira menunduk kembali. Berpikir.

"Abi sedang tanya atau ngajak?"

"Hmm, ngajak?"

"Ya sudah, Maira bilang Ummi dulu."

Ali mengangguk. Ia memandang Maira yang masih saja tersenyum. Meski beberapa saat lalu, ia melihat suaminya tersenyum lebar dan begitu menuntut izin untuk beristri kembali—secara eksplisit memang. Percakapan tak terduga di tengah masa kehamilan pertama di trimester pertama.

Maira pernah berkata bahwa punggungku akan tetap tegak di matanya, meski akan bungkuk di mata dunia. Apa aku bisa menatapnya dengan cara yang berbeda dengan cara dunia menatapnya? pikir Ali, begitu melihat ujung gamis biru dongker istrinya ikut menghilang ke celah pintu terbuka yang tersisa. Kemudian saat pintu tertutup, ia mengembuskan nafasnya.

"Apa aku masih sanggup menduakannya, saat ia dengan suka rela membiarkanku menjalankan sunnah. Meskipun, aku sangat yakin kalau itu juga melukai hatinya. Apa yang kamu pikirkan, Um?" lirihnya frustrasi.

Ia berlaku seolah menjadi orang yang begitu mengenali perempuan shalihah itu. Segala hal ia berikan, termasuk lukanya sekali—beberapa saat lalu. Ali merasa benar-benar memahami segala sifat istrinya. Namun, pada kenyataannya, ia selalu dikejutkan oleh sikap Maira tiap saatnya. Maira yang mengejutkan atau memang Ali yang tak pernah mengenalinya.

Dalam buaian angin pagi di Malang, Maira berjalan sendirian di belakang Ali dan abahnya. Ia menatap jalanan tak rata yang ia lalui dalam hening. Sementara dua lelaki di depannya sudah membicarakan banyak hal, entah hal apa—karena Maira tak begitu menangkap pembicaraan mereka—enggan.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang