Suasana hening yang tidak hening, karena para jemaah tengah menggila akan munajat kepada Sang Maha Kuasa selepas sholat Maghrib dan Isya berjemaah. Ditambah kultum yang begitu mencerahkan hati, bagi orang-orang yang telah siap menerimanya. Tapi, Ali kembali terpuruk akan pemahamannya. Apa yang ia terima saat ini terasa begitu mirip dengan apa yang ia pelajari bersama Maira. Tetapi, terasa begitu berbeda dengan apa yang ia dapatkan dari Ustadz Azzham.Namun, ia begitu tersinggung ketika mendengar bahwa apa yang ia dengar saat ini terasa bersinggungan dengan Ustadz Azzham. Hatinya seakan begitu tertutup dalam sebuah ruang tak berudara yang suatu saat pasti membuatnya merasa sesak. Kemudian … mati.
Beberapa saat lalu, ia terasa begitu mantap untuk kembali pulang kepada istrinya. Tetapi, hatinya tidak menyukai ketika pengajaran Ustadz Azzham yang telah membantunya begitu saja dilukai. Hati dan otaknya tengah tidak berkesinambungan saat ini.
"Memang benar kalimat yang disampaikan Khalifah Umar bin Khatab radiyallahu anhu bahwa 'ceramah selembut kapas sekali pun akan terasa setajam pedang bagi orang yang belum mendapat hidayah untuk menerimanya' dan itu benar. Mari kita berodoa agar senantiasa, semua saudara kita yang tengah memikirkan banyak hal lekas dipertemukan dengan solusi yang sesuai dengan syariat Islam fii sabilillah dengan prosesnya yang turut sesuai syariat pula."
Ali masih termenung memikirkan untaian kalimat dari penceramah yang merupakan rekan Ibrahim itu. Ia begitu menentang apa yang diajarkan. Tetapi, hatinya tahu bahwa hal itu merupakan benar. Ia hanya tak mampu memutuskan segala hal ini seorang diri. Ali merasa bahwa ia harus menemukan orang yang tepat.
"Semuanya terasa sangat membingungkan. Ada apa dengan hati dan otakku ini."
Ting!
Ustadz Azzham: Assalammualaikum, Ali aku melihatmu di kajian itu. Sungguh, saya tersinggung kamu mengikuti kajian orang lain yang terdengar menyalahkan ajaran saya.
Ustadz Azzham: Kamu meragukan saya, Li?
Ustadz Azzham: Ya, kamu memang meragukan saya. Saya sakit hati untuk itu.
"Ya Allah, apa lagi ini. Rasanya cobaan-Mu begitu lekat denganku dan seakan tiap kali itu pergi, rasanya cobaan-Mu begitu merindukanku. Lalu kembali datang padaku."
"Itu artinya, Allah sangat mencintai Abi. Yang merindukan Abi bukan luka, tapi Allah azza wa Jalla."
Sebuah suara mendadak masuk ke ruang dengarnya, lalu bergema hingga ke tiap sudut hati dan otaknya. Ia segera menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Kosong.
Hingga ia melihat bahwa di koridor itu hanya ada dirinya, karena kajian sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Dan para marbot masjid juga berada di dalam masjid.
Suara itu gema dari hatinya.
"Sepertinya aku memang harus bertemu Maira dan melupakan semua pemikiran ini. Aku bisa gila karena terlalu merindukannya."
Langkah Ali yang seakan gontai dan ragu menginjak lantai keramik rumah sakit itu begitu terlihat memuakkan. Sesekali kepalanya menunduk, lalu menoleh ke kanan kiri, lalu kembali menunduk. Seolah ia adalah maling jemuran yang hendak kabur setelah melancarkan aksinya. Hingga beberapa perawat yang tengah berjalan di koridor yang sama dengannya, menatap Ali penuh curiga.
Meskipun begitu, ia tetap melangkah menuju ruangan tempat Maira berada. Sesuai informasi dari bagian resepsionis di lobi rumah sakit di lantai satu. Padahal, suasana rumah sakit begitu sepi karena hari hampir larut malam, tetapi ia tak bisa berjalan dengan langkah seperti biasa: tegas dan penuh kharisma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
EspiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...