Dua Puluh Satu: Ia Telah Benar-Benar Jauh

2.1K 189 71
                                    

Sebuah kesempatan untuk memperbaiki segala hubungan Ali dan Maira, begitu saja menguap karena sebuah pesan. Maira menyangka, semuanya, setelah Ali kembali padanya beberapa saat lalu. Semuanya akan kembali membaik, semua hubungannya akan kembali menjadi manis seperti semula, semua kehidupannya akan kembali menjadi lebih utuh seperti sebelumnya. Tetapi, semuanya mendadak raib tiada sisa. Ia terkejut akan sikap Ali yang tiba-tiba meninggalkannya setelah membanting ponselnya hingga hancur.

Maira menekuri nasibnya, ia terpekur di balik pintu utama rumah besar itu yang terasa begitu menyesakkan bagi Maira. Ia tak sekali pun berusaha mengusap air matanya atau menelan isaknya hingga tandas. Ia takut, kesedihannya akan bertemu dengan jabang bayinya.

"Ya Allah, pesan apa yang dibaca suamiku, tadi?" lirihnya bertanya.

Maira tergugu tangisnya yang tiada kunjung usai, seperti penderitaannya. Salahkah jika ia cemburu pada wanita yang lebih diperhatikan oleh suaminya, daripada dirinya sendiri yang berstatus sebagai seorang istri. Tentu, tidak. Maira hanya ingin Ali kembali padanya, hanya seorang diri tanpa membawa siapa pun lagi. Lalu mereka akan melanjutkan hidup dalam bahtera yang tengah dilahap badai ini, dengan merapikannya kembali, dengan menghiasnya kembali.

"Ya Rabb, Yaa Muqallibal Quluub, tsabbit qalbii alaa diinika."

"Ya Allah, Maira?!"

Perempuan bersurai hitam yang mengusut itu menolehkan kepala ketika mendengar pekikan dari mama mertuanya, Reva. Ia tersenyum miris sembari tetap menyandarkan kepalanya yang terasa sangat pening itu ke pintu. Maira melihat wanita berusia senja yang masih saja cantik itu, berjalan menuju dirinya yang teronggok seperti kain baju bekas yang telah dibuang akibat tak terpakai dan sudah aus. Alias, sudah saatnya digantikan yang baru.

Reva langsung merengkuh tubuh lemas Maira yang kini terasa begitu dingin, tidak lupa dengan air matanya yang ikut mengalir melihat menantu satu-satunya itu menderita.

"Ali! Istrimu Ali!" teriak Reva tanpa mengetahui asal muasal menantunya tergolek begitu saja seperti sampah.

"Ali masih tidur?" tanya Mama Reva yang dijawab tangisan oleh Maira sembari menggeleng.

"Mama …," lirih Maira, ia memeluk tubuh mama mertuanya itu seerat yang ia bisa.
Maira mencoba menyalurkan kesedihannya, untuk dibawa bersama udara dan air mata. Agar ia tidak lagi bertahan dengan duka, ia hanya terisak tanpa meraung-raung. Sekali lagi, ia harus berusaha untuk menenangkan diri dan hatinya. Maira tidak bisa membiarkan hatinya kacau balau dan menyebabkan hal tidak baik akan mempengaruhi kesehatan bayinya.

"Kenapa disini, Sayang? Ali di atas?"

Maira menggeleng.

"Terus Ali kemana?"

Maira menggeleng, lagi.

Reva berdecak dan mengembuskan nafasnya lelah. Baru saja, ia bisa melihat menantu Shalihaa-nya itu tersenyum dan bersemangat saat menginginkan untuk pulang. Lalu sekarang ia harus melihat semua hal yang tidak ia harapkan, yang beberapa waktu lalu sempat ia rasakan. Kini ia berusaha untuk menenangkan menantunya, semampu yang ia bisa. Ia mengusap punggung Maira berulang kali, berharap hal itu bisa mengurangi kepanikan dalam hati Maira.

"Kita ke kamar, ya?" bujuk Reva, ketika mendapati tubuh Maira kini menjadi jauh lebih dingin.

"Ya? Kita ke kamar, ya, Maira?"

Tubuh Maira mulai melemas, dirasakannya hal itu oleh Reva dari pegangan Maira di tubuhnya yang semakin tak seerat sebelumnya. Lalu, tubuh perempuan dalam pelukannya itu tidak lagi tertopang dengan baik. Dibarengi dengan tingkat kepanikannya yang kian bertambah.

"Maira? Hey, Maira?"

Tidak ada jawaban.

"Maira!"

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang