Berlakulah adil.
——————Sahabat fillah yang akan menuntun kembali ke jalan Allah aza wa jalla saat dia salah memilih simpangan di jalan. Berbagi duka dan cinta, meraup ridho agar sampai hingga Jannah. Berdakwah atas ilmu-ilmu Allah yang kini mulai direntankan dan diselewengkan oleh pihak-pihak anti-Islam. Bahkan oleh Muslim itu sendiri, yang merasa benar di atas segala kebenaran akibat ayat yang tak lengkap dikajinya.
Dunia mulai hancur dengan sendirinya, bukan karena manusia, tapi memang sudah masanya. Berakhir—hampir hancur. Sama seperti kepercayaan Ali terhadap wanita. Namun, bukan Maira-nya.
Ali menatap istri mungil di kursi pesawat tepat di sampingnya. Tengah menatap jendela persegi bersudut lengkung, bertujuan menjaga keseimbangan pesawat agar tak terjadi turbulensi dan retaknya kaca akibat tekanan udara. Tangannya mengulur mendekat ke pucuk kepala Maira, wanita itu tersenyum di balik niqob-nya ketika membalas tatapan Ali.
“Kenapa lihat keluar sampai segitunya?”
Maira terkekeh. “Abi tahu? Aku merasa berjalan di atas awan.”
Ali menahan tawanya agar tak menganggu penumpang lain dalam pesawat. Ia mengecup sekilas wajah bertutup kain hitam yang membuatnya harus memarahi petugas bandara sebelum keberangkatan beberapa waktu lalu. Saat mengingatnya, Ali merasa ingin menelan siapa pun yang berani menuduh istrinya.
“Sayang, aku ke toilet sebentar. Kamu langsung ke gate keberangkatan saja, semua dokumen penerbangan sudah divalidasi sama Boy.” Maira mengangguk dan menyeret koper kecil berisi beberapa helai pakaiannya dan Ali. Rencana bermalam di Malang memang tak lama, hanya mencari sedikit obat rindu dari kedua orang tuanya. Menurut seperti kata suaminya, ia berjalan memasuki gate keberangkatan untuk segera duduk di ruang tunggu.
Namun, belum ia melalui pintu pendeteksi logam. Seorang pria yang bertugas sebagai penjaga mencegatnya dengan wajah serius. Maira berhenti dua meter dari pria itu.
“Bu, kopernya harus diperiksa dulu.”
Keningnya mengerut, mengingat beberapa saat lalu sebelum berpisah dengan suaminya, koper mereka sudah diperiksa. “Sudah diperiksa, kok, Pak.”
“Nggak bisa, Bu. Harus diperiksa manual dulu.”
Mencegah terjadinya kejadian pemicu keributan. Maira mendorong kopernya untuk diperiksa oleh petugas bandara itu. Ia berdiri dan hendak berjalan memasuki gate setelah isi kopernya tak lagi rapi. Tersenyum maklum, mencoba berbaik sangka bukan hal buruk untuk menjaga kondisi hati dan kedamaian bandara pagi itu.“Sebentar, Bu! Harus diperiksa terlebih dulu dengan identitasnya. Nanti beda orang lagi.”
Maira mengembuskan nafas. Kakinya mulai pegal karena berdiri terlalu lama dan rasanya ia melihat kursi di ruang tunggu menjadi ladang penuh bunga dengan dudukan berumput empuk.
“Silakan ke ruang itu, Bu!” lanjut petugas bandara itu sembari menunjuk salah satu ruangan yang di depan pintunya telah menunggu seorang wanita berhijab, rapi—siset.
Kakinya melangkah enggan, tapi tetap berjalan ke ruangan itu. Ketika pintu akan ditutup, suara bariton dari belakangnya menyeru, “Maira?!”Ia menoleh dan mendapati suaminya itu tengah berlari ke arahnya dengan mata menajam. Namun, berwajah sedikit merujuk ke arah kebingungan. Ia tak pernah suka dengan tatapan suaminya yang semacam itu. Seakan pria itu akan menelan dunia karena mencarinya.
“Kenapa masuk ke sini?” tanya Ali ketika menghentikan larinya di depan Maira.
“Kata petugas tadi, wajahku harus diperiksa dulu. Sesuai nggak sa—“
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]
SpiritualCover by Finairakara Buku 2 | Niqobi Series ------------ "Syafakillah, Bidadari." Wanita itu tersenyum lebih cerah, hening. Hingga suara latunan adzan tanda Maghrib tiba berkumandang cukup keras dari surau terdekat. Suara merdu yang membuai melantun...