Sebelas: Lembaran Luka

2.6K 202 16
                                    

Abi: jangan lupa pamitan ke Abah dan Ummi

Abi: biar nanti langsung berangkat

Maira menghentikan kegiatannya mengenakan kerudung karena mendengar dering khusus untuk kontak Ali—suaminya. Sekarang, ia harus memutar otak untuk berpamitan pada kedua orang tuanya—yang tentu saja tidak akan menyangka bahwa kunjungan Ali dan Maira hanya sehari semalam. Macam perkemahan. Kepalanya ia gelengkan cepat, lalu mengangguk pasti sekali. Menemukan solusi.

Ali dan Abah tengah duduk di dua kursi di meja makan. Ia menatap abahnya yang sudah membaca koran pagi bersama secangkir kopi susu full cream. Dengan aroma yang pernah membuatnya selalu tergoda tiap pagi. Tetapi, ia memiliki aroma kesukaan yang mampu membuatnya lebih berbunga. Hingga ia melupakan duri di tangkai itu.

"Ummi," panggilnya pada wanita paruh baya dengan gamis coklat terang.

"Sudah, kamu duduk di sana saja. Kandungan di trimester pertama itu lebih banyak resikonya, Maira. Ummi bawakan sarapan kesukaan kamu," perintah Ummi Fatimmah. Maira tersenyum lebar, ketika wanita tercintanya itu menggiringnya pelan hingga duduk di samping Ali—yang lagi-lagi tengah sibuk dengan gawai.

Abah melipat koran paginya dan menatap Maira. Ia berucap, "kamu jadi sowan ke pondok nanti? Mumpung Abah nggak ada jadwal ngajar, jadi bisa sekalian ke sana sama Ali juga."

"Iya, Ra? Nanti Ummi bantu siapkan bawaan buat ke sana sebelum Ummi berangkat. Sekalian, katanya kalian mau jalan-jalan di Malang." Ummi menyahut dari dapur dengan tangan membawa nampan penuh sarapan.

Maira melirik Ali yang juga menatapnya, hanya sekilas, lalu menyakukan ponsel. Seakan pria bermata obsidian itu menaruh minat pada perbincangan. Ludah perempuan itu lagi-lagi tersendat, tetapi, ia kemudian tersenyum. Sembari sesekali menggaruk tengkuknya. Maira perlahan bersuara.

"Hmm, maaf ... Abah, Ummi." Maira menetralkan detak jantungnya. "Tapi, Maira sama Abi mau ke Cikarang sore ini."

"Ha?!" pekik kedua insan paruh baya itu, sontak meletakkan kembali sendok yang sudah hendak masuk mulut.

"Maira kangen sama Mama."

Kedua orang tua Maira terkekeh dengan menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menatap Ali yang melongo memandang Maira dengan wajah heran.

Abah mengajuk, "pasti Ali iya-iya saja dengan ngidam-nya Maira. Sekali-kali ditolak juga nggak masalah kok, Li. Apalagi begini, baru sampai kemarin, sekarang sudah kangen sama Bu Reva."

Ali tersenyum kikuk. Bukan karena ajukan Abah, tetapi karena alasan yang disampaikan Maira bukanlah alasan kepulangan dadakan mereka yang sebenarnya. Maira menyadari kikuk senyum Ali, ia hanya tersenyum dan memilih untuk menunduk.

"Nggak jadi jalan-jalan di Malang?" sahut Ummi.

Maira menggeleng lalu berucap lirih, "Maira sudah sering jalan-jalan sama Abi, kok."

"Ya, sudah. Nggak apa. Lain kali jangan minta yang aneh-aneh sama Ali, ya?" ucap Abah Ahmad dengan senyum terkembang penuh pengertian. Lalu memandang penuh rasa terima kasih kepada menantunya. Ia adalah pilihan tepat untuk melindungi putrinya. Terutama karena rasa cinta antara mereka adalah halal atas nama Allah. Ali bergeming.

Setelah beberapa saat, Ummi membantu Maira berkemas. Meski tidak banyak, tetapi, seluruh bawaan mereka sudah berada dalam lemari. Karena perempuan itu berpikir, bahwa paling tidak, mereka akan berada di Malang selama satu pekan.

Sementara itu, di ruang makan, Abah masih duduk berhadapan dengan Ali yang setia dengan kegemingannya. Hendak memulai pembicaraan, tetapi ia tak memiliki topik yang pas untuk dibahas pada saat hatinya berada di persimpangan. Keheningan berlalu sejak mereka membicarakan kepulangan. Kali ini, Abah tersenyum lebar, tetapi matanya berkaca.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang